Kamis, 29 Agustus 2019

Omong Kosong yang Manis

Oleh Yoga. 

--

“Pokoknya habis Zuhur udah pada sampai lokasi, ya? Sekitar pukul satu deh setelat-telatnya.”

“Pukul satu? Oke, gue janji enggak akan telat!”


Apakah kamu tidak asing dengan kalimat yang biasanya terucap saat janjian barusan? Kalau sesuai pengalaman gue, janji seperti itu hampir enggak pernah ditepati. Entah ada yang telat 15 menit; ada yang mengira pukul 1 baru jalan dari rumah; bahkan ada yang bilang, “Gue udah otw nih”, padahal baru bangun tidur, beranjak dari kasur, dan buru-buru lari ke kamar mandi. 

Biadab memang teman seperti itu. Enggak perlu jauh-jauh, gue sendiri pun pernah (sering juga mungkin) melakukan hal itu. Namun, sejak mendengar perkataan Pandji Pragiwaksono, “Bukannya enggak mau nungguin yang telat, tapi gue mau menghargai yang datang tepat waktu”, gue mulai merenung dan berusaha berjanji kepada diri sendiri untuk tidak lagi mengaret. Semoga saja janji itu tidak gue langgar, kecuali ada hal-hal yang di luar kendali gue.

Manusia bisa berencana, tapi tetap Tuhan yang menentukan. Misalnya, gue sudah berangkat lebih awal dan dipastikan sampai sana tepat waktu, atau mungkin bisa datang lebih cepat. Sayangnya, di perjalanan ada gangguan. Entah itu ban motor bocor, ada perbaikan jalan sehingga macet total, kecelakaan (amit-amit, jangan sampai deh), atau si Komo lewat. Setidaknya, janji seperti itu gue ingkari dengan tidak sengaja. Bukan gue yang menjadi penyebabnya. Bukan berasal dari kelalaian gue. 

Berbicara soal janji, mungkin kita udah terlalu sering mengingkarinya. Lebih parahnya, kita sampai enggak bisa hitung saking banyaknya. Kalau dianalogikan, janji yang belum kita tepati maupun yang diingkari itu sejumlah pori-pori di tubuh kita (dibaca: banyak banget, Nyet!) 

Di antara banyaknya cerita tentang pengingkaran janji itu, ada satu kisah tentang janji yang membawa gue ke sebuah kisah tentang hubungan bersama pacar—yang kini tentu telah menjadi mantan.



Janji untuk terus bersama pacar sampai nanti menikah, padahal statusnya masih anak sekolahan, adalah janji terbodoh yang pernah gue dengar. Ada yang pernah berjanji seperti itu? Gue sendiri pernah. Mungkin di saat itu, gue percaya sekaligus bahagia saat mengucap dan men­dengar janji manis tersebut. Namun, setelah berulang kali dibohongi dan dibodohi pacar gue, maka gue mulai tersadar dan mentertawakan hal itu. 

Sewaktu SMK, gue pernah sama-sama berjanji untuk terus bersama pacar sampai tua-renta. Namanya juga anak remaja. Ketika hati lagi berbunga-bunga, membayang­kan masa depan yang indah dan berjanji untuk terus bersama bukanlah hal yang aneh.

Dulu, kami juga pernah berjanji kalau sudah lulus sekolah nanti tidak perlu bekerja. Kami berdua ingin membuka usaha saja dan menjalankan bisnis itu bersama. Merintis usaha dari awal dan kelak uangnya bisa kami gunakan untuk menikah, membeli rumah berikut hal lainnya, lalu kami bisa hidup berdua di dalam kesederhanaan. Indah sekali, bukan? 

Sayangnya, begitu sudah lulus kami malah masuk ke dunia kerja. Semua hal yang kami impikan itu memudar. Menjadi pengusaha itu susah. Butuh modal. Mesti tahan banting. Hidup rasanya harus benar-benar realistis. Sehingga kami berdua pun menjadi karyawan. Gue bekerja di bidang perpajakan sebagai admin penginput data. Lalu, si pacar menjadi kasir di sebuah toko roti. 

Komunikasi gue sama pacar tentu saja terganggu. Gue masuk pagi kemudian pulang sore, sedangkan dia kerjanya dengan sistem sif dan lebih sering mendapatkan jadwal yang masuk siang dan pulangnya malam. Entah kenapa, lantaran pertemuan dan komunikasi yang kurang lancar itu, kami jadi sering bertengkar. 

Awalnya, gue masih berpikir kalau dia memang fokus sama pekerjaannya. Terus dia mungkin kecapekan, makanya jadi sering marah-marah dan jarang membalas SMS gue. Sedihnya, ketika suatu hari kami sedang makan bersama di sebuah warung steak, dia malah fokus mainan ponsel melulu. Mestinya kan dia memilih ngobrolin berbagai hal sama gue sebab kami jarang berjumpa. Lah, ini malah sibuk sendiri sama gadget, bukannya menikmati waktu berkualitas sama gue. Melihat kelakuannya yang tidak beres itu, gue mulai mencium bau-bau sebuah kebohongan dan pengkhianatan. 

Gue jadi teringat beberapa minggu yang lalu. Pada saat dia menyuruh gue untuk menjemputnya ketika pulang malam sekalian nanti kencan. Sore itu gue janjian sama pacar untuk ketemuan nanti malam sambil mencicipi nasi goreng pinggiran jalan—yang kata beberapa teman gue rasanya enak dan maknyus.

Begitu sudah pukul 8 malam, satu setengah jam sebelum dia pulang kerja, dia mendadak membatalkannya. Katanya sih takut gue kecapekan dan biar bapaknya saja yang menjemput. Itu jelas aneh banget. Gue tahu betul, dia sedang berbohong. Gue harus mencari tahu kebenarannya. Gue pun tetap menjemputnya malam itu. 

Sesampainya di sana, gue berusaha membuat kejutan dengan membeli dua buah roti. Dia terkejut ketika melayani seorang pelanggan yang mana adalah pacarnya sendiri. Temannya—yang juga seorang kasir—bertanya kepadanya, “Kenapa deh muka lu mendadak cemberut gitu?” 

Dia hanya menggeleng. Temannya itu pun mulai memperhatikan gue. Gue sendiri pura-pura enggak kenal. Setelah itu, gue keliling mal seraya menghabiskan roti. Lagi asyik-asyiknya menikmati roti, tiba-tiba ponsel gue bergetar. Gue mengecek ada sebuah SMS. Ternyata dari dia. 

Gue tersenyum dan berpikir kalau dia pasti lagi kegirangan mendapatkan kejutan itu. Tapi, begitu gue buka, ternyata isinya kata-kata kasar. Dia marah-marah atas kelakuan gue barusan. Dia juga menyuruh gue pulang. Gue enggak mengerti kenapa jadinya malah begini. 

Namun, gue tetap ngotot dan enggak mau balik ke rumah. Gue sudah memilih untuk mengantar­kan dia pulang, lalu dinner. Gue masih berharap rencana sore tadi itu enggak batal. Setelah menunggu lama (ya, tentu saja yang namanya menunggu itu enggak enak dan terasa lama), akhirnya kerjaan dia pun kelar. Gue segera menghampiri dan menyapanya, tapi dia memilih untuk membungkam mulutnya. Dia ngambek. Gue pun kebingungan kayak orang dongo. 

Karena enggak enak diam-diaman begitu, di jalan menuju parkiran motor gue bertanya kepada­nya, “Emangnya bokap kamu udah di jalan mau jemput, Yang? Apa gimana, sih? Kok jutek gitu?” 

“Auk, ah.” 

“Aku salah apa, sih? Maaf.” 

“Bawel dah lu! Udah, ayo pulang!” ujar dia semakin sewot. 

Malam itu adalah malam terburuk selama gue pacaran sama dia. Baru kali ini, dia naik motor jaraknya jauh-jauhan sama gue. Seolah-olah dia merasa terpaksa membonceng. Itu di tengah-tengah kalau gue taruh cabe-cabean mungkin masih muat. 

Lalu, begitu gue membelokkan motor ke arah kiri, ke tempat penjual nasi goreng, ia malah meminta untuk langsung diantar ke rumah. Kami batal mencicipi nasi goreng yang konon rasanya mantap itu. Lagian, kalaupun jadi makan, gue yakin rasa nasi gorengnya pasti hambar. Percis kondisi hubungan kami berdua malam itu.


Memori pahit akan sikapnya yang aneh pada malam terkutuk itu, membuat gue menyimpulkan bahwa sekarang ini dia mungkin sedang SMS-an sama cowok lain. Gue pun semakin mencuri­gainya. Feeling gue mengatakan kalau dia... (ehem) selingkuh. Tapi, biar bagaimanapun gue berusaha stay cool di depannya. Gue memilih diam saja mencoba terlihat tidak curiga. Bagusnya, dia sempat izin ke toilet dan ponselnya malah tertinggal di meja. 

Inilah momen yang gue tunggu-tunggu. Gue segera meraih ponsel Nokia C2 yang tergeletak di atas meja. Gue langsung membuka kunci, lalu memilih menu SMS. Gue baca satu per satu kotak masuknya, tapi enggak ada yang mencurigakan. Bahkan, tidak ada SMS apa-apa di jam-jam terakhir. 

Apa itu kotak masuk sudah dihapus olehnya? Hm, mungkin aja feeling gue yang salah. 

Gue kembali menaruh ponsel itu ke meja dan mencoba berpikiran positif. Seketika itu pula, ponselnya bergetar. Gue melihat ada SMS masuk dari Joko. Gue baca pesan itu baik-baik. Romantis dan sayang-sayangan. Lalu, barulah gue kepikiran untuk membaca pesan terkirim. Dan ternyata, dia lupa menghapusnya. Maka, terbuktilah semuanya. Gue diselingkuhin sama si pacar. Belakangan diketahui, Joko adalah supervisor di kantornya.

Gue lantas bertanya-tanya, janji yang telah kami buat untuk terus bersama sampai nikah mana? Kalau baru pacaran satu tahunan aja, dia sudah berani mengkhianati gue begini. Berengsek! 

Singkat cerita, gue langsung marah-marah karena enggak terima kenapa dia bisa tega menyelingkuhi gue. Apa sih salah gue sampai dia berbuat keji seperti itu? Akhirnya, gue putusin dia saat itu juga seusai makan. Gue juga menyuruhnya naik angkot. Gue entah kenapa sudah terlalu malas mengatarkan dia pulang. Alias gue malu karena pengin nangis. Iya, serius. Sesampainya di rumah gue pun nangis. Inilah patah hati terdahsyat gue selama 17 tahun hidup di dunia. Pertama kalinya diselingkuhin ternyata perih dan pedihnya bukan main. Hati gue lecet-lecet. Pacar yang selama ini telah gue sayangi dan gue berikan kepercayaan satu tahun lebih lamanya justru berkhianat. Rasanya benar-benar tersiksa. 


Tiga minggu berikutnya, dia mengontak gue. Dia meminta maaf atas kesalahannya dan mengajak gue balikan. Dia juga bilang kalau sudah pindah kantor demi gue. Jujur, gue masih benci sama kelakuan dia kemarinan itu. Gue masih takut hal itu bakal terulang kembali. Tapi, gue juga enggak bisa membohongi diri sendiri kalau masih sayang sama dia. Gue juga kangen banget sama dia. Awalnya, gue coba buat jual mahal, tapi dia terus menggoda gue. Dia pun mengingatkan gue tentang janji di masa SMK untuk terus bersama sampai renta. Janji yang membuat gue kalah telak. Maka, besoknya kami kembali bersama dan mulai bertukar cerita lagi. 

Sekitar tiga bulan menjalani hubungan itu, gue merasa ada yang salah sama hubungan kami. Gue mulai enggak nyaman dengan keber­samaan ini. Gue merasa rasa sayang gue ke dia sepertinya mulai berkurang. Gue juga berpikir, kalau dia juga berkurang rasa sayangnya ke gue. Mungkin betul seperti analogi orang-orang, bahwa gelas yang sudah pecah kemudian direkatkan ulang, pasti enggak akan nyaman lagi buat dipakai minum. Yang ada bibir kita bakal berdarah-darah. 

Terkadang, gue malah curiga dia diam-diam selingkuh lagi. Apalagi mengingat kami sudah berganti ponsel menjadi BlackBerry. Godaannya jelas bertambah berat. Dia akan semakin mudah komunikasi dengan cowok-cowok lain. Selain itu, kondisinya kami berdua sama-sama semakin sibuk. Ya, meskipun jadwal masuk kantor kami saat itu sudah barengan. Masuk pagi dan pulang sore. Namun, rasa lelah akan pekerjaan membatasi pertemuan kami. Kami enggak bisa untuk sering jalan sekadar makan bareng atau nonton seperti masa sekolah dulu.

Akhirnya, kecurigaan itu ada benarnya. Gue mendapatkan jawaban dari teman sekelasnya sewaktu SMK, sebut saja namanya Putri. Putri mengatakan dirinya yang enggak tega kalau gue dibohongi terus-terusan. Rupanya, dugaan gue benar kalau si pacar selingkuh lagi. Putri mengatakan kalau status di BBM yang merupakan simbol love dan ada huruf “Y”-nya itu bukanlah buat gue. Itu buat cowok lain yang inisialnya juga “Y”. Dia adalah Yunus. Seorang cowok yang membuat pacar gue nekat selingkuh lagi dan bikin hati gue jadi tetanus. 

Perselingkuhan jahanam telah terjadi dua kali dalam hidup gue. Bahkan oleh pacar yang sama. Miris. Gue hanya bisa mendoakan semoga rasa sakit hati gue ini bisa mereka (mantan pacar dan selingkuhannya) rasakan juga. 

Tak lama setelahnya, si pacar ditinggal oleh Yunus—yang ternyata sudah punya kekasih. Lalu, Yunus juga men­dapatkan balasan yang lebih parah; hubungan dia dengan kekasihnya tidak direstui. Lalu, kekasihnya malah dijodohkan oleh pria lain. Pengingkaran janji itu akhirnya mendapatkan balasan. 

Karma does exist

Baru kali inilah gue putus cinta dan malah merasa puas banget. Apalagi bisa menyaksikan sebuah karma. Gue pikir karma itu cuma lagu dari band Cokelat. Ternyata karma itu betulan nyata. Atau istilah lainnya: hukum alam. Ketika kita berbuat sesuatu yang buruk, suatu hari pasti akan mendapatkan balasannya. Entah itu di dunia atau di akhirat. Begitu pun jika kita melakukan suatu kebaikan. Semua pasti ada imbalannya. 

Setelah pacar gue itu selingkuh dua kali, gue tentu tidak mau lagi memberinya kesempatan ketiga. Sudah cukup. Sekali saja sakit, ini gue malah me­rasakannya dua kali. Untuk ketiga kalinya? Oh, tentu saja tidak boleh. Kayak minum obat atau wudu aja segala tiga kali.

Namun, gue masih ingat jelas akan hari itu. Hari di mana dia datang menjemput gue untuk mengajak balikan. Dia begitu gigih mencoba mendapatkan kesempatan ketiga.

Pada suatu malam Minggu, sekitar pukul delapan, si mantan terus-menerus mengontak gue di BBM. Berulang kali ponsel gue bergetar karena banyaknya “PING!!!” yang masuk. Sebab pesan itu hanya gue baca, dia akhirnya menelepon gue. Awalnya gue tolak, lalu enggak berapa lama dia mengirim SMS.

Please angkat. Gue cuma mau ngomong.” 

Jujur, gue udah muak banget sama teror dia belakangan ini. Dari mulai BBM atau menelepon gue setiap hari, terus juga sampai SMS Nyokap, tanya-tanya ukuran sepatunya berapa sok pengin memberikan kado. Iblis emang. Bisa-bisanya mencoba meluluhkan hati Nyokap, biar nanti bisa menyuruh gue balikan. Lebih parahnya sih kemarin malam. Dia mengirimkan gue dua buah foto. Yang satu berupa kertas yang bertuliskan kata maaf dengan tetesan darah, satunya lagi tangan dia yang disilet. Sumpah, itu udah kelewatan banget. Dia mulai sinting.

Karena takut dia melakukan hal yang lebih gila, maka gue segera membalasnya, “Oke.” 

Telepon kembali masuk, kali ini gue terpaksa mengangkatnya karena sudah mengatakan oke di SMS. Begitu telepon gue angkat, tiba-tiba terdengar isak tangis di seberang sana. 

“Lu kenapa nangis?” tanya gue. 

Suaranya enggak begitu terdengar jelas karena bercampur dengan tangisan. Tapi, gue tahu dia bilang apa. Dia bilang, kalau dirinya sudah menunggu gue sekitar satu jam yang lalu di dekat rumah. Dia cuma pengin minta ketemuan, terus mengobrol sebentar. Maka, gue pun jalan kaki ke tempat yang dia maksud. Dari kejauhan terlihat seorang cewek memakai kaos putih sedang duduk di motor Honda Beat warna merah. Iya, dia mantan gue. 

Begitu sudah di dekatnya, gue melihat jelas matanya yang sembab itu. Lalu, dia menyuruh gue menaiki motornya dan bilang cuma pengin berbicara agak lama. Tadinya, gue udah mau balik lagi ke rumah karena janji gue cuma untuk mene­muinya dan sudah ngobrol ala kadarnya. Tapi, entah kenapa ada rasa enggak tega di dalam diri gue ketika dia memohon masih mau mengobrol lebih lama. Akhirnya, kami berdua mencari tempat yang pas untuk mengobrol. 

Sepuluh menit kemudian, kami berdua sudah duduk di Taman Kemanggisan di dekat kampus Binus Syahdan, Jakarta Barat. 

“Yog,” kata dia pelan membuka per­cakapan. “Please ya, balikan sama gue.” 

Gue hanya bergeming. Enggak percaya kalau dia langsung menjurus ke sana. 

“Yog?” panggilnya lagi. 

Gue hanya bisa menoleh, lalu menunduk kembali. 

Please, ngomong, jangan diem aja kenapa.” 

Jujur, gue sudah memaafkan dan tidak membencinya. Gue juga sudah puas menyaksi­kan karma yang dia terima. Sekarang ini badan dia berubah kurus banget, padahal tadinya cukup montok. Dia sepertinya banyak pikiran dan depresi karena perbuatan selingkuhnya itu juga dibalas oleh selingkuh. Namun, gue juga enggak tahu harus ngomong apa ketika dia me­mohon seperti itu. 

Gue melihat jelas dari matanya kalau dia benar-benar sudah menyesali perbuatannya. Tapi, gue enggak mau lagi buat balikan. Gue tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Karena diselingkuhin dua kali itu enggak enak banget. Sekali aja rasanya pasti sakit. Apalagi dua kali? Terus, ini mantan gue masih berusaha mengajak balikan lagi. Dipikir hati gue apaan? Mainan dari hadiah ciki? Yang kalau rusak bisa dengan mu­dahnya dia dapatkan lagi karena harganya cuma seribu? 

“Yog, please balikan,” ujar dia sambil me­me­luk gue. 

“Gue enggak bisa,” jawab gue jujur, lalu berusaha melepaskan pelukannya. 

Dia kemudian memeluk gue lagi, kali ini lebih erat. Kepalanya dibenamkan di bahu gue. Gue merasakan kaos hitam yang gue kenakan ini tiba-tiba basah. Ternyata dia sedang menangis tanpa bersuara. Tak lama setelah itu, dia melepas pelukannya dan bercerita tentang masa indah dulu semasa kami pacaran dan berulang kali membujuk gue agar mau balikan. Sayang­nya, jawaban gue tetap sama: gue enggak bisa. 

Tadinya gue udah capek dan mau pulang, sebab muak mendengar kalimatnya itu yang keras kepala untuk mengajak balikan. Namun, tiba-tiba dia mulai mengingatkan gue mengenai sebuah kenangan. Dia bercerita awal pertama kami jadian. Dia juga bercerita bagaimana gue yang pernah memberikan kejutan pada hari ulang tahunnya itu. Gue membawakan sebuah guling berbentuk Mickey Mouse berukuran besar, yang demi bisa membelinya gue harus rela menabung uang saku sekolah selama tiga minggu.

Tentu, gue masih ingat jelas momen manis itu. Gue pun enggak jadi pulang dan malah ter­senyum. Gue mencoba untuk mendengarkannya berbicara. Sampai akhirnya dia bilang, “Lu masih inget kan, Yog? Janji kita untuk terus bersama sampai tua? Lu juga inget, kan, kalau setiap kali salah satu dari kita minta putus, kita harus bisa balikin ludah yang udah kita telan?” 

Gue cengengesan mendengar janji bodoh itu. Kami berdua pun malah tertawa bersama. Iya, dulu kami emang sempat beradu lidah dan bertukar ludah. Itu adalah pertama kalinya buat gue. Dan dia adalah cewek pertama yang ngajak gue ciuman. Agresif banget, bukan? 

Akhirnya, gue tatap wajahnya dalam-dalam, gue mencoba untuk jujur akan perasaan ini. 

“Kita enggak bisa sama-sama lagi. Tolong, hargai juga keputusan gue ini.” 

“Tapi gue udah berubah, Yog. Gue udah sadar, ternyata begini rasanya diselingkuhin.” 

Gue menggelengkan kepala. 

“Sekali lagi aja, Yog. Please, kasih gue kesempatan,” rengeknya, embun mengalir di matanya dan jatuh ke pipi. 

“Maaf, gue tetep enggak bisa.” 

“Setelah sakit diselingkuhin, sekarang gue juga paham gimana sakitnya ditolak ketika udah ngemis-ngemis mengajak balikan. Maaf ya, kalau gue sering nyakitin lu.” 

Dia terdiam lama. Hujan turun semakin deras dari sudut matanya. Napasnya pun sampai tersengal-sengal. Tanda kalau dia benar-benar menangis dari hati. Tangisan akan sebuah penyesalan. Gue enggak tahu saat itu harus berbuat apa. Melihat cewek menangis seperti itu kadang membuat cowok menjadi goblok. Gue pun refleks memeluknya. Mencoba membuatnya tenang. 

Sesudah tangisnya berhenti dan kaos gue semakin lepek karena air mata, ia kemudian melepas pelukan gue. 

“Ya udah, kalau lu enggak mau balikan,” kata dia, nadanya terdengar pasrah. “Tapi, please turutin permintaan terakhir gue, ya. Sehabis ini, gue janji enggak akan ganggu lu lagi. Gue bakal ikhlasin lu.” 

“Iya, gue turutin. Apa permintaan lu?” 

Anjir. Bangsat. Bajingan. Bedebah. Gue benar-benar telah dibuat bego olehnya. Bisa-bisanya langsung bilang iya bakal menuruti per­mintaannya. Astagfirullah. Semoga permintaan­nya itu enggak aneh-aneh. Gue takut kalau dia tiba-tiba meminta gue enggak boleh pacaran dulu sampai dia memperoleh pacar baru. Atau lebih parahnya, enggak apa kalau gue enggak mau balikan dan boleh pacaran sama siapa aja saat ini, asalkan nanti nikahnya sama dia. Atau yang lebih sadis, gue harus sunat lagi. Tidaaak! 

“Tolong anterin gue pulang sampai rumah.” 

Hah? Gitu doang? 

Sialan! Ketakutan di dalam pikiran gue itu kejauhan ternyata. Imajinasi gue terlalu liar. Lalu, dengan penuh rasa semangat dan mem­bayangkan hidup gue enggak akan ada gangguan lagi darinya, gue langsung meng-iya-kannya sebelum dia berubah pikiran akan permintaan terakhirnya itu. 


Malam itu, gue betulan mengantarkan dia pulang. Ya, bodoh memang. Gue mengantarkan dia ke rumahnya menggunakan motor, setelah itu gue harus balik lagi ke rumah naik angkot. Entah kenapa gue mau-maunya menuruti permintaan terakhir dari mantan gue itu. Gue cuma enggak mau aja kalau nanti dia pulang dengan tidak selamat. Misalnya, menabrakan diri ke mobil atau truk selama di jalan pulang. 

Apalagi gue itu orang yang dia temui terakhir kali. Gue takut nanti gue yang diwawancarai oleh polisi atas kecelakaan tersebut. Gue pun masuk berita. Nah, biasanya berita di koran dan televisi itu suka banget memutarbalikkan fakta. Gue enggak mau jika itu sampai terjadi. 

Fakta: Seorang gadis berusia 17 tahun bunuh diri dengan menabrakkan motornya ke sebuah truk karena mantannya tidak mau diajak balikan. 

Yang muncul di berita: Seorang gadis berusia 17 tahun bunuh diri dengan menabrak­kan motornya ke sebuah truk karena mantannya tidak mau bertanggung jawab atas hilangnya keperawanan dan kehamilannya. 

Astagfirullah. Khayalan gila macam apa itu. Boro-boro menghilangkan keperawanan, ngilangin tupperware Nyokap aja takutnya bukan main. 

Gue sudah mengantarkan dan memastikan dia selamat sampai rumah. Lalu begitu duduk di angkot, ada BBM panjang darinya. Pertama, dia ingin berterima kasih karena permintaannya dipenuhi; kedua, dia menyuruh gue untuk segera cari pacar yang baik sekaligus cantik agar dia bisa cepat move on dari gue; ketiga, dia berjanji kepada gue untuk enggak selingkuh lagi ketika punya pacar baru. 

Gue jadi teringat kejadian barusan sebelum mengantarkan dia pulang. Di taman itu, gue meminta kepadanya supaya enggak selingkuh lagi sama pacarnya kelak. Gue bilang, “Cukup gue aja yang lu selingkuhin. Sampai dua kali pula. Tolong, jangan pernah mengulangi per­buatan bangsat itu, ya. Setiap kali lu mencoba buat selingkuh, ingatlah malam ini. Saat lu menyesal dari hati yang terdalam.” 

Tiba-tiba gue menangis di angkot ketika mengingat kejadian itu. Menangisi sebuah janji di perpisahan terakhir hubungan kami. Syukur­nya, di dalam angkot itu hanya ada gue dan supir. Gue enggak bisa bayangin jika di angkot itu ada penumpang lain. Yang bisa saja berpikiran kalau ada seorang remaja menye-menye yang me­nangis di angkot karena diputusin pacarnya lewat SMS. Terus, mereka berusaha menghibur gue dengan bilang, “Mohon. Mohon bersabar. Ini ujian. Mohon bersabar ini ujian. Ujian dari Allah. Ini perjuangan. Mohon ditahan emosi. Memang mengecewakan.” 


Setelah malam panjang itu, dia benar-benar tidak pernah mengganggu kehidupan gue lagi. Kalau tidak salah, sehabis putus dari gue dia cuma pacaran sekali dan bertahan sampai sekarang. Gue sendiri malah sudah berulang kali ganti pacar. Itu rasanya sebuah bukti kalau dia benar-benar menepati janjinya dan sudah bahagia sama pacarnya yang sekarang. 

Gue merasa cukup bersyukur memiliki pengalaman pahit seperti itu. Berkat dia, gue jadi belajar banyak perihal kehilangan dan bertambah dewasa. Gue jadi belajar untuk enggak asal berjanji kepada pacar. Bersama dialah janji terberat dalam hidup yang pernah gue langgar. Janji untuk terus bersama pacar sampai tua yang akhirnya dia ingkari sendiri. Yang secara tidak langsung juga gue ingkari karena enggak mau diajak balikan. 

Sampai saat ini gue enggak pernah lagi menjanjikan pacar gue yang macam-macam. Apalagi janji untuk menikah dan hidup berdua sampai tua. Gue enggak mau mengulangi kesalahan yang sama. Janji itu sama aja kayak utang. Gue enggak pengin asal berjanji yang belum tentu bisa gue tepati. Mungkin lebih baik gue menunjukkannya dengan tindakan. Bukan hanya besar di omongan. Sebab memilih untuk hidup bersama, nyatanya enggak sesimpel itu. Rasa sayang aja ternyata enggak cukup. Harus ada komitmen yang kuat. 

Lucunya, gue masih sering asal berjanji tentang hal-hal yang lain. Seperti di kalimat pembuka tulisan ini. Janji untuk datang tepat waktu, tapi nyatanya masih suka terlambat. Banyak janji-janji yang rasanya mudah terucap begitu saja, tanpa adanya sebuah hasrat untuk bisa menepatinya. 

Gue sudah keseringan berjanji untuk tidak lagi tidur larut atau begadang. Gue juga kerap berjanji untuk mengatur waktu agar lebih produktif dalam setiap harinya. Gue janji untuk tidak lagi menunda-nunda waktu untuk salat wajib, kecuali sedang dalam perjalanan atau hal-hal lainnya yang memang harus terpaksa menunda salat. 

Namun, kenyataan berkata lain. Gue masih sering begadang. Gue masih enggak ngerti kenapa pola tidur jadi begini amat. Siang jadi malam. Malam jadi siang. Gue benar-benar mulai mirip kelelawar. Kemudian, gue malah suka merasa kalau waktu dalam sehari itu sangatlah kurang. Rasanya 24 jam terlalu singkat. Gue dalam sehari hanya membuang-buang waktu yang entah untuk apa, giliran malam harinya barulah dipakai buat membaca buku atau menulis sampai sekitar pukul 3 pagi. Gue bahkan baru bisa tidur sehabis Subuhan karena takut ketiduran dan meninggalkan salat Subuh. Meskipun sejujurnya, gue juga pasti pernah beberapa kali ketiduran dan akhirnya ninggalin salat Subuh. Janji untuk tidak menunda-nunda salat ternyata lebih parah. Gue justru melalaikan salat lima waktu. 

Gue benci sekali sama diri gue yang cuma bisa asal berjanji itu. Apalagi janji buat enggak nonton bokep lagi. Oke, gue enggak mau munafik. Susah sekali menghilangkan kebiasaan tolol itu. Biar kata film terlarang itu telah gue hapus dari laptop, tapi tetap aja ketika menginap di indekos seorang kawan dan meminjam laptopnya, gue bakal dijejali video nista itu. Atau, ada saja keinginan bodoh untuk streaming

Menyedihkan. 

Lalu, gue juga pernah berjanji kalau tahun 2017 ini untuk mengurangi lelucon atau cerita yang menyerempet mesum. Bodohnya, di tulisan ini akan ada sebagian cerita seperti itu. Bakal ada cerita yang membahas ciuman dan terdapat kata “bokep” di tulisan ini. Gue terpaksa menuliskan itu karena mungkin ada yang merasa relevan. Terutama yang cowok-cowok. Tapi, ke depannya gue berusaha berjanji kepada diri sendiri untuk tidak keseringan memakai bumbu komedi ataupun alur cerita yang menjurus mesum. Gue juga berusaha untuk tidak asal berjanji dan segera melunasi utang-utang yang pernah gue ucapkan itu.

Begitulah janji. Sebuah omong kosong yang manis. Manis ketika mengucapkannya, dan pahit saat menyesal karena telah mengingkarinya.  Gue jadi teringat akan kutipan Ali bin Abi Thalib, “Jangan membuat keputusan ketika sedang marah. Jangan membuat janji ketika sedang gembira.” 

Lalu, dari sekian banyak janji itu, gue saat ini sedang berusaha menepati janji untuk menyelesaikan apa yang sudah gue mulai. Sebuah proyek bersama WIRDY untuk membuat karya. Maka, ketika tulisan berbentuk buku digital ini sampai ke folder laptop, komputer, atau ponsel kalian, berarti satu tanda centang dari daftar janji-janji gue itu telah berhasil gue capai. Satu janji sudah gue tepati. Satu utang telah gue lunasi.

--

Gambar berasal dari: https://pixabay.com/photos/clown-creepy-grinning-facepaint-630883/

Demi Janji

Oleh Darma. 

-- 

“Kamu beneran janji akan menikahi aku?” tanya Mira kepada Bayu. 

Iya, aku janji. Janji menjadi lelaki yang akan melepaskan keperawananmu dengan kelaminku ini, pikir Bayu mesum. 

Ish... kok diem? Kamu habis mikir jorok, ya?” 

Bayu tertawa. “Enak aja. Sembarangan deh kamu!” 

“Ya udah, terus gimana? Kamu berani janji atau enggak?” tanya Mira sekali lagi karena masih ragu akan kekasihnya itu.

“Iya, aku janji. Bulan depan kita akan melangsungkan pernikahannya, Mir. Kamu tinggal pilih tanggal yang cocok.”



Pada malam hari yang seharusnya menjadi malam resepsi pernikahan Mira dan Bayu, hujan turun begitu deras. Mira yang sedang berbaring di kasur hanya terdiam tanpa ekspresi. Mira mungkin sedang meratapi batalnya acara itu. Di dalam gelapnya kamar, tiba-tiba ada secercah cahaya masuk melalui jendela kamar. Lalu, terdengar bunyi ngik dari jendela kamar yang terbuka. Jendela mulai terbuka lebar dan se­seorang masuk dari jendela tersebut. Bersamaan dengan itu, dinginnya angin pun ikut masuk ke dalam kamar dan membuat tubuh Mira kedinginan. 

Orang itu mulai mendekati kasur Mira. Menaiki kasurnya dan langsung menunggangi Mira. Seorang lelaki laknat telah memerkosa tubuh Mira. Namun, Mira tidak bisa melawannya karena ternyata dia adalah lelaki yang seharus­nya menjadi suaminya hari ini.

Mira terlihat pasrah dan mungkin me­nikmati atas apa yang Bayu lakukan kepadanya. Selesai Bayu menjamah tubuh Mira, dia hanya meninggalkan Mira begitu saja tanpa member­sihkan tubuhnya. Menyisakan cairan kentalnya di beberapa titik tubuh Mira. Sebelum benar-benar pergi dari kamar itu, Bayu hanya menutup kembali tubuh Mira dengan kain putih dan me­ninggalkannya di kamar mayat. 

“Sayang, aku telah menepati janjiku. Kini kamu bisa istirahat dengan tenang,” bisik Bayu di telinga Mira seraya menangis. Bayu meneteskan air mata semakin deras sewaktu mengingat kejadian kemarin, sehari sebelum pernikahannya, calon istrinya itu kecelakaan ketika pulang dari merayakan pesta lajang bersama teman-teman akrabnya. Mobilnya ditabrak oleh mobil lain yang pengendaranya diduga dalam pengaruh minuman keras. Tadi sore, dokter menyatakan Mira meninggal.

Bayu tahu bahwa kematian bisa datang kapan saja, tanpa memandang usia. Tapi, kenapa kematian hadir pada saat menjelang hari pernikahannya? Lalu, merusak semua rencana yang telah dia nanti-nantikan itu? Maka, demi janji yang telah dia ucapkan kepada diri sendiri untuk menjadi laki-laki yang bakal merenggut keperawanan Mira, Bayu tega melakukan perbuatan biadab semacam itu.

--

Gambar diambil dari: https://pixabay.com/photos/promise-forever-divorce-2749751/

Tentang Janji dan Pengingkarannya

Oleh Robby.

--

Gue memiliki sedikit pandangan mengenai hobi. Menurut gue, seseorang yang menekuni hobi tertentu, baru bisa bertahan dengan hobinya sekitar tiga bulan pertama. Bila dalam waktu lebih dari tiga bulan mereka berhasil menekuninya, berlakulah sistem “tiga bulan kelipatan”. Hingga akhirnya dalam waktu setengah tahun, hobi tersebut bisa dianggap menjadi rutinitas biasa.

Begitu pula dengan berhentinya hobi tersebut. Bila seseorang telah berhenti melakukan hobi selama tiga bulan, bisa dipastikan dia kehilangan gairah melakukan kegiatan tersebut. Namun, kadang kita enggak pernah tahu kapan hobi bisa berhenti. Tiba-tiba ingin berhenti tanpa bisa diprediksi sebelumnya.

Sangat gue akui, bahwa hobi gue sejak SMA adalah ngeblog. Banyak sekali alasan kenapa gue ngeblog. Padahal, setahun sebelum masuk SMA, gue enggak pernah punya pikiran, “Nanti kalau SMA mau ngeblog.” Baru sebulan sebelum masuk SMA, gue punya niat untuk ngeblog, dan alhamdulillah masih bertahan hingga kini.

Gue kadang merasa diri ini enggak bisa banyak hal. Orang yang berada dekat gue akan mengira, “Ih, si Robby banyak enggak ngertinya.” Gue akui memang begitu. Disuruh main alat musik, gue enggak bisa. Disuruh mengerjakan soal Matematika, gue kabur duluan. Ngobrol tentang politik atau psikologi, gue menutup telinga. Diajak ngobrol tentang film, gue cuma menyeletuk enggak jelas.

Gue pun merasa minder.

Giliran gue sedikit paham tentang menulis, nilai pelajaran Bahasa Indonesia gue justru rendah. Teman-teman akhirnya enggak percaya dan menyingkir. Gue semakin minder dan merasa terasingkan. Dalam hati gue iri dengan teman-teman yang “banyak bisanya”. Atau, bisa dibilang multi talenta.

Sore ini gue pergi bersepeda. Seperti biasa, gue menggunakan sepeda fixie merah milik Bapak. Pedalnya agak kendur, sehingga membuat gue khawatir pedalnya nanti lepas di tengah jalan. Sama seperti kekhawatiran gue yang tiba-tiba muncul:

Bagaimana bila gue enggak ingin ngeblog lagi?

Sepanjang kayuhan sepeda yang pelan, gue terus-terusan mencari-cari jawaban dari per­tanyaan itu. Mencari positif-negatif dari vakum­nya gue ngeblog, sekaligus pembelaan atas janji yang pernah gue ucapkan dalam-dalam: gue mau terus-terusan ngeblog.



Tentang janji... yang kadang takut bila gue ingkari.

Gue berusaha sekuat mungkin untuk me­nyempatkan waktu 1-2 jam di depan laptop untuk menulis. Yang namanya usaha memang kadang enggak selalu mulus. Niat dan usaha gue, untuk ngeblog, sekeras apa pun, tetap saja ada yang mengejek dan merendahkan. Sebenarnya sudah dua tahun terakhir gue mengalami hal seperti itu, tapi kadang gue merasa goyah.

Mau berhenti saja.

Mau menutup blog.

Gue kembali pada janji yang gue miliki: gue mau terus-terusan ngeblog.

Janji yang sangat rawan gue langgar. Gue takut janji ini akan membuat gue “menjilat ludah sendiri”. Andai memang tidak ngeblog, gue enggak mau berhenti menulis. Gue enggak mau berhenti bercerita. Gue enggak mau berhenti ber­bagi hal kecil yang terlintas lewat di pikiran gue yang penuh keminderan ini. Gue tahu, rasa minder ini enggak akan ada habisnya. Gue punya harapan, semoga rasa minder ini memang sifat bawaan dari seorang anak muda yang sedang mencari jati diri.

Seorang guru di bimbel pernah melempar pertanyaan di kelas, “Kalau besok ada ulangan Matematika dan Bahasa Indonesia, kamu lebih pilih belajar mana?”

Seisi kelas ragu menjawab Matematika. Kenyataannya memang kami lebih memilih belajar Matematika.

“Pasti Matematika,” kata Guru. “Kenapa kita selalu menganggap tinggi Matematika, padahal dalam SBMPTN nilai benar Matematika dan Bahasa Indonesia sama?”

“Saya kalau enggak bisa Matematika, saya sadar diri. Saya genjot di mata pelajaran lain,” tambahnya.

Benar juga.

Di dalam hati, gue mulai melakukan pem­berontakan, “Tapi kalau yang mau kuliah berhubungan dengan eksak enggak bisa kayak gitu.”

Herannya, pikiran gue yang lain malah membalas, “Ya, memang. Setidaknya kamu harus belajar dulu. Tapi maksimalkan kekuatan yang kamu punya.”

Hening yang cukup panjang. Kepala gue tiba-tiba kosong enggak memikirkan apa pun. Setelah cukup lama kalimat itu cukup menonjok pemikiran, gue mencoba menerapkan hal itu ke media lain.


Kayuhan sepeda gue kecepatannya meningkat. Sore ini terlalu ramai dan tidak terlalu membuat gue senang. Jalanan macet karena truk masuk pabrik sehingga jalan tersendat. Gue memutar arah mencari jalan lain untuk melanjutkan rute gue bersepeda seperti biasanya. Melewati rumah orang yang pernah gue sebut pacar.

Dia, dulu, sedikit mengenalkan gue dengan blog. Mungkin, bila diibaratkan ngeblog adalah sebuah kampus, dia yang memberikan lembaran berisi profil singkat. Memang tidak banyak yang dia kenalkan, tetapi gue pernah dapat gambaran kecil dari dia.

Setelah berbulan-bulan gue ngeblog, ber­puluh-puluh tulisan dipublikasi, dia menagih lewat pesan singkat, “Kapan mau nulis aku di blog kamu?”

Gue menjawab, “Kapan-kapan, ya.”

Akhirnya, malah menjadi “kapan-kapan” yang enggak pernah terwujud. Hingga berbulan-bulan kemudian dia tetap menagih hal yang sama, gue pun menjawab dengan jawaban berbeda, “Kalau nulis tentang kamu, enggak menjual.”

Itu bentuk bercandaan gue ke dia. Pada kenyataannya, gue memang enggak pernah me­nulis tentang dia. Dan sekarang gue bisa menulis sedikit tentang dia di proyek bersama teman WIRDY. Dia jugalah yang membuat gue akhirnya takut untuk berjanji. Gue pernah bilang ke dia, “Kita pasti bareng terus.”

Namun, setelah lulus SMP kita beda sekolah. Janji yang kemudian dilanggar setelah gue putusin dia. Janji yang gue ciptakan terkesan hanya untuk melenakan.

Gue bingung karena saat itu dia lagi ngambek terus. Gue enggak ngerti bagaimana cara mengembalikan mood perempuan yang sedang ngambek. Pada akhirnya janji bodoh itu spontan terucap. Sungguh, di saat itu gue ke­hilangan akal untuk membuatnya kembali bersemangat.

Mungkin ada puluhan janji yang telah gue berikan kepadanya. Ucapan anak polos yang belum tahu apa-apa, yang suatu saat, bisa saja dia tagih. Yang tidak mungkin gue jawab, “Kapan-kapan, ya.”

Sewaktu sedang melanjutkan tulisan ini, dia mengirim pesan di Line, menanyakan film yang baru saja rilis di bioskop. Dia bertanya, “Udah nonton filmnya?”

Gue, entah kenapa, sangat pede kalau dia akan mengajak gue nonton. Dalam posisi seperti ini, gue enggan terjebak pada cerita nostalgia bersama mantan. Gue berusaha menghindar, tetapi ada dorongan lain dengan menganggap dia sebagai teman lama. Gue pernah mendengar nasihat: Janganlah menyia-nyiakan teman lama. Karena pada suatu hari nanti, saat kita kesulitan, teman lama berpotensi menjadi penyelamat.

Dalam hati yang terdalam, gue punya firasat bahwa dia bisa menolong gue di masa depan. Mulai saat ini, gue harus menjalin hubungan baik dengan dia.

“Belum,” balas gue.

“Kalau mau, nonton bareng ya.”

“Senin, mau enggak?”

Dia mengiyakan ajakan gue.

Sampai pada hari yang telah dijanjikan, gue tidak menemukan dia. Pesan yang gue kirim tadi pagi belum juga dibaca. Mengirim pesan lagi dengan memberi tahu kalau gue berada di toko buku. Hari itu satpam pasti mengira gue orang paling sibuk karena bolak-balik mencari sinyal, berusaha untuk menghubungi dia. Memastikan dia selamat sampai di sini.

Gue keluar mal untuk mencari ruang terbuka, berharap ada sebatang sinyal muncul. Duduk di bawah pohon tempat parkir cukup membuat handphone gue kedatangan banyak pesan. Gue mendapat pesan dari dia.

“Gue lagi di tempat lain.”

Mulut ini rasanya tak mau lagi mengucap sumpah serapah, tapi ini sulit dipercaya. Gue kira hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan; bisa bercerita panjang hingga toko ditutup, berbagi potongan pengalaman hidup, bertukar referensi, dan menceritakan teman-teman. Ternyata, dia tidak di sini. Tidak bersama gue—yang hampir dikira tukang parkir.

Terpikir akan satu hal: Apakah ini balasan atas janji yang dulu pernah gue buat?

Entahlah kemarin dia berjanji atau tidak. Ternyata memang begini rasanya dikhianati. Diberi harapan palsu.

Masih dalam perjalanan bersepeda, beberapa meter kemudian gue melihat seekor kucing tergeletak di pinggir jalan. Orang-orang di depan toko melihat kucing itu dengan iba. Gue yang sudah terlewat beberapa meter hanya bisa berhenti dan menengok ke belakang. Saat sepeda gue berpapasan dengan kucing itu, dia sedang kejang-kejang dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Darahnya terus mengucur. Sepertinya kucing ini baru saja menjadi korban tabrakan.

Kucing itu sekarat. Gue berniat ingin menguburnya, tetapi seperti ada sebuah dinding penahan untuk bergerak. Gue hanya bisa meratapi nasib kucing kecil itu dari kejauhan. Agak mengerikan juga sore ini. Setelah tadi melewati rumah mantan, menemukan kucing sekarat di jalan, kini melewati tempat pemakaman umum. Gue agak sensitif dengan tempat ini. Tempat yang menjadi peristirahatan terakhir manusia di Bumi ini, selalu memutus janji-janji yang belum sempat terlaksana.

Bayangkan bila ada seseorang diundang datang ke acara ulang tahun temannya, dia berjanji akan datang paling awal. Kemudian, di perjalanan dia malah pergi bareng pacarnya yang, ehem... lagi ngambek. Di perjalanan dia meninggal. Begitu termasuk pengingkaran janji, kan?

Dalam sebuah obrolan di grup WhatsApp, kami sempat bercerita tentang janji. Mereka juga punya janji yang hingga kini belum mereka tepati. Entah itu kepada teman, sahabat, atau orang tua. Gue mengambil kesimpulan, bahwa sulit untuk menepati semua janji-janji yang pernah kita buat. Dan pada akhirnya, kita telah berbaring di liang lahat dengan meninggalkan janji-janji yang belum terlaksana. Wallahu a’lam.


Agak mengerikan juga dengan orang-orang yang mengingkari janjinya. Termasuk gue, takut bila suatu saat, baik secara sadar maupun tidak sadar, telah melupakan janji. Apalagi mengenai tulisan di blog sendiri. Secara sadar, ada banyak janji kecil yang gue lupakan, seperti mau mengulas film dan buku yang habis gue tonton dan baca. Gue sadar akan hal itu. Andai bisa semudah menghapus tulisan itu, maka janji gue dianggap tidak jadi. Andai saja.

Agar bisa lebih mengalir, gue masih ingin berpegang pada janji gue, gue mau terus-terusan ngeblog. Setidaknya, hingga janji ini tetap terjaga akan kesuciannya, yang kemudian diingkari oleh ketidaksadaran.

--

Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/achievement-agreement-business-bw-3390230/

Rabu, 28 Agustus 2019

Membuat Tuhan Tertawa dengan Janji

Oleh Icha.

--

Baru-baru ini film Indonesia berjudul Promise tayang di bioskop. Satu lagi film rasa FTV penyusul film berbuah kesuksesan semu macam London Love Story dan I Love You From 38.000 Feet. Sungguh menyedihkan. Eh bukan, sungguh menggelikan. Membuat tertawa para bloger pengulas film profesional, sineas perfilman Indonesia, dan para petinggi perfilman. Membaca judul filmnya, Promise—yang berarti janji, aku jadi teringat dengan petinggi alam semesta ini. Petinggi kehidupan ini. Siapa lagi kalau bukan Tuhan Yang Maha Esa? Mudah rasanya membuat Tuhan murka atau kecewa pada kita, bawahan-Nya. Kita tinggal ciuman dengan yang bukan muhrim. Beres. Tuhan bakal langsung kecewa. Sama mudahnya dengan ingin membuat Tuhan tertawa. Kita tinggal berkaca pada kutipan dari Woody Allen, “If you want to make God laugh, tell him about your plans.” 

Tell him about your plans. Our plans. My plans



Selama aku hidup di dunia, sepertinya aku sudah sering membuat Tuhan tertawa. Rencana bisa termasuk sebagai janji, janji pada diri sendiri, yang diucapkan di dalam usaha yang berkepanjangan, doa yang dipanjatkan, dan sujud yang terus dilakukan. Janji pada diri sendiri akhir-akhir ini, yaitu aku berjanji akan memperlakukan seseorang kalau seandainya dia datang ke kotaku, Samarinda. Jangan teriakkan kepadaku kalimat, “Sebut nama!”. Yang jelas, aku mencanangkan banyak rencana. Banyak mimpi yang aku gantungkan. Dan aku membeberkannya itu kepada Tuhan setiap malam sebelum aku tidur. Misalnya, “Ya Tuhan, aku janji bakal maraton nonton film sama dia di bioskop. Mentertawakan poster film yang norak. Ngebaperin dan ngeparodiin film yang baru ditonton secara bersamaan.”; “Ya Tuhan, aku janji bakal ajak dia ke tempat-tempat yang biasanya aku pakai buat menghabiskan waktu sendirian.”; “Ya Tuhan, aku janji bakal dengan semangat menyuruh dia buat nge-bully keponakan-keponakan binalku.”; “Ya Tuhan....”; dan janji-janji berbumbu roman picisan lainnya. 

Saat itu pun tiba. Saat dia datang ke Samarinda. Dia ada di hadapanku. Saatnya janji-janjiku di atas ditepati. Saatnya dia juga menepati janji-janjinya. Tapi seperti kalimat andalan dokter di tiap film atau sinetron pada adegan tak bisa menyelamatkan nyawa pasiennya, aku harus berkata, “Maaf, Tuhan berkehendak lain.” Janji-janji di atas aku langgar karena keterbatasan waktu dan halangan, juga kejutan tak terduga lainnya. Bisa dibilang pertemuan kami banyak plot twist-nya. 

Awalnya aku bakal jemput dia bareng Kak Ira (kakak sepupuku) dan Max (temanku), tapi enggak jadi karena begitu dia tiba di Balikpapan, agen travel menuju Samarinda sudah tutup. Dia pun menghabiskan malam pertamanya di daerah WITA bukan sama aku, melainkan sama Yogaesce—bloger asal Balikpapan yang punya julukan Siluman Capung. Aku memendam rasa penasaran semalaman. Begitu pun juga dia. Aku yang lagi menginap di rumah Kak Ira, mengalami susah tidur karena memikirkan dia sedang berbuat apa aja dengan Yogasece bajingak. 

Pas besoknya, hari Minggu, dia sampai di Samarinda, aku dan dia berencana buat nonton film di bioskop, tapi malah diajak ke Tenggarong oleh Kak Ira. Kami enggak cuma bertiga, tapi bareng Max dan Kak Hendra juga. Awalnya kami janji bakal ketemu bloger, Ichsan Ramadhani—bloger Samarinda yang punya julukan Ayam Sakit—sehabis dari Tenggarong, tapi malah enggak jadi karena kemalaman. Threesome pun batal. Lalu di hari Senin, aku janji pada diriku sendiri untuk izin enggak masuk kerja, tapi aku ingkari karena suatu hal. Jadi, aku enggak menghabiskan waktu seharian sama dia. Kami cuma bertemu di jam istirahat makan siangku dan pas aku pulang kerja. Baru deh pas malamnya, aku dan dia mutusin buat nonton film di bioskop. Janji mulai ditepati, tapi enggak sepenuhnya. Hanya satu film yang kami tonton karena keterbatasan waktu. 

Aku janji pada diriku sendiri, bakal mengantarkan kepulangannya. Aku janji bakal melihat dia naik ke mobil travel dengan senyuman sok tegar. Nyatanya, rencana bakal naik mobil travel sekitar pukul 11 sehabis nonton pun gagal, karena sudah enggak ada keberangkatan lagi. Adanya nanti sekitar pukul 3 dini hari. Badanku jadi lemas. Aku pengin banget nemenin dia, tapi... aku harus segera pulang saat itu juga. Mamaku pasti enggak ngebolehin aku buat nemenin dia sampai berangkat. Malam itu, aku menangis karena mengingkari janji lagi. Dia terus menyunggingkan senyum sambil bilang, “Enggak apa-apa. Saya udah biasa menunggu kayak gini. Kamu pulang, ya.” 

Air asin dari mataku semakin mengalir deras layaknya darah menstruasi hari pertama. Teganya aku yang membiarkan dia terlunta-lunta di kotaku sendiri. Lalu, dia meraih ujung jilbabku dan mengusapkannya ke sumber air asin itu. Aku bagaikan anak SD yang baru pulang dari acara maulid Nabi, yang sedih karena habis mendengar tausiah. Dengan rasa enggak ikhlas, aku mutusin buat pulang.

Begitu sampai rumah, aku menemani dia yang menunggu keberangkatan dengan teleponan dan nongol di grup WWF—grup di Telegram untuk bermain Werewolf. Grup yang biasanya sudah sepi pada pukul segitu, entah kenapa menjadi ramai. Mereka mungkin tau kalau ada seseorang yang harus ditemani buat menghabiskan waktu. 

Besoknya, dan beberapa hari setelahnya, aku merasa bersalah karena mengingkari banyak janji. Aku sedih dan kecewa sama diriku sendiri. Dengan terlalu optimisnya, aku yakin kalau enggak bakal ada cobaan yang menghampiri pertemuanku dengannya. Aku sombong. Aku takabur. Aku seolah lupa kalau apa pun yang bakal terjadi, itu yang nentuin Tuhan, bukan aku. Aku pantas dikerjain Tuhan kayak gitu. Tuhan seolah berkata lewat kejutan-kejutan yang Ia berikan. Berkata kalau aku jangan pernah sok tau soal apa yang akan terjadi. 

Namun, sekarang aku pengin ikutan tertawa. Aku bodoh kalau aku merasa sedih atas pertemuan kami. Banyak hal yang tak terduga, yang menyenangkan. Kalau aku enggak ke Tenggarong, aku enggak bakal main sepeda dengannya. Enggak bakal ada meme bajingak yang tercipta, yang berasal dari foto main sepeda itu. Aku enggak bakal mendengar jeritan cemas takut jatuhnya dia selama di perjalanan, kalau saja aku enggak boncengin dia ke Tenggarong. 

Aku enggak bakal tau betapa sabarnya dia menghadapi aku yang kekanak-kanakan dan panikan kalau aku bisa izin enggak masuk kerja. Aku enggak bakal dengar kebohongannya dia yang bilang kalau beli skateboard untuk ke musala dekat mal, padahal skateboard itu dia beli buat aku, kalau aku enggak masuk kerja. Aku enggak bakal kepikiran mengenalkan dia ke mamaku dengan cara yang konyol, kalau seandainya kami bisa maraton nonton film. Aku enggak bakal punya bahan buat ditulis di proyek e-book Kafe WIRDY. Aku enggak bakal punya keberanian buat nulis curhatan bajingak enggak penting ini. Selama ini aku kesusahan buat nulis curhatan. Itu sih yang paling penting. 

Perkataan Woody Allen di awal tulisan, kelihatannya bermakna sedih, bahkan bermakna menyindir. Tapi dengan kejadian ingkar janjiku yang ini, aku merasa ikut tertawa bersama Tuhan yang Mahakuasa itu seolah memarodikan janji-janjiku. Membuat kami mengalami kejadian-kejadian yang kalau difilmkan, mungkin genrenya adalah romantic comedy, bukan romantic drama. Alah, ini aku bakal diketawain Joko Anwar kalau kalimatku barusan dibaca sama dia. Jadi menurutku, enggak selamanya rencana kita bisa berjalan mulus. Janji kita bisa kita tepati. Kadang ada di mana kita pengin nepatin janji kita, tapi takdir berkata lain. Takdir bilang kalau sebaiknya janji itu diingkari saja demi jalan hidup yang lebih baik, ya walaupun sebenarnya mengingkari janji itu adalah tanda-tanda orang munafik. 

Lagian, sebenarnya sebuah janji bisa lahir bukan hanya karena pengin ditepati. Sungguh ironis. Tapi, itulah yang banyak terjadi. Para tikus berdasi bisa berjanji pada rakyat hanya karena mereka ingin mendapatkan sebuah simpati dan tentunya jabatan sebagai wakil rakyat itu. Ibu kita pernah berjanji pergi sebentar ke dokter untuk minta suntik, padahal mau berangkat kerja saat kita masih kecil. Ibu berjanji semata-mata agar kita enggak nangis lagi. Teman kita yang berjanji bakal mentraktir kita pas dia ulang tahun, bisa aja berjanji karena enggak enak sama kita yang menagih traktiran itu. Aku yang janji enggak pengin nulis curhatan lagi karena berbagai faktor, nyatanya malah nulis curhatan bajingak ini demi proyekan grup.

Aku nulis bukan karena lagi pengin berbagi cerita. Beda dengan teman-teman di grup WIRDY ini yang ingin berbagi cerita sekaligus berkarya. Jadi, inti dari tulisan ini untuk melengkapi perkataan Woody Allen di atas, adalah... jangan percaya semua janji kalau enggak mau diketawain oleh siapa pun. Termasuk Tuhan. Termasuk janji yang diucapkan sama seseorang, atau bahkan janji kita ke seseorang. Janji bakal terus sama-sama untuk selamanya, misalnya. Cukup lakukan saja sebisanya. Cukup jalani saja alurnya sambil berusaha. Kalau kita berjanji dan percaya banget bisa kita tepati bahkan sampai takabur, siap-siap dikerjain deh sama Tuhan.

--

PS: Bajingak merupakan versi lain dari bajingan.

Gambar dicomot dari: https://pixabay.com/photos/pinky-swear-friends-pinky-promise-329329/

Perihal Janji

Oleh Wulan.

--

Ngomongin janji, gue punya banyak janji yang hingga saat ini belum dilaksanakan. Alias janji palsu untuk diri sendiri. Sama diri sendiri aja gue sering janji palsu, enggak heran kalo gue sering dikasih janji palsu oleh laki-laki.

Oke, ini pembukaannya gini amat, anying. Mari kita lupakan masalah janji palsu dari lelaki. 

Awal masuk SMP, gue berjanji untuk tidak akan menghiasi masa-masa SMP dengan cinta monyet. Gue juga pernah ngomong di depan Ibu dengan penuh keyakinan bahwa gue tidak akan tergoda dengan seorang laki-laki yang kemungkinan akan mendekati gue. Sampai-sampai gue sudah mempersiapkan bagaimana cara untuk menolak cinta laki-laki. Gue sering ngomong sendiri di depan kaca, kayak begini: 

“Maaf ya, aku enggak bisa jadi pacarmu. Aku mau fokus sekolah aja,” gue mengucap itu dan langsung balik badan.

Atau, “Maaf ya, kita temenan aja. Aku lagi enggak mau pacaran.” 

Dan berbagai kalimat penolakan lainnya yang sering gue latih dan ucapkan di rumah. Karena gue yakin, bilamana gue ditembak oleh laki-laki, maka kalimat itu akan gue gunakan untuk menolaknya. 

Namun, itu semua hanyalah omong kosong ketika salah seorang laki-laki, siswa kelas lain menemui gue ketika pulang sekolah. Dengan embusan angin di sore hari yang cukup sejuk, juga beberapa helai poni gue yang mencuat keluar dari jilbab, laki-laki itu mengatakan cinta di hadapan gue. Gue kaku. Terdiam untuk beberapa saat. Ketika itu, jarak badannya dengan badan gue hanya dalam hitungan senti­meter. Terlalu dekat. Gue kaget, karena seumur-umur gue enggak pernah berhadapan langsung dengan laki-laki sedekat ini. Apalagi dalam situasi seperti ini. 



Sore itu, gue akhirnya melanggar janji yang gue bikin sendiri. Gue menerima pernyataan cinta dari lelaki itu. Dalam perjalanan pulang, hati gue kacau. Jantung gue berdebar-debar. Bukan grogi karena baru pertama kali punya pacar, melainkan sedih karena gue tidak bisa memegang janji gue sendiri. Ada rasa bersalah yang hadir di dalam hati gue ketika itu. Gue menyalahkan diri gue sendiri yang enggak bisa menjaga janji, padahal gue sendiri yang membuatnya. 


Naik ke kelas 2 SMP, gue pernah berjanji pada diri sendiri untuk kembali meraih tiga besar di kelas. Gue yakin bahwa gue pasti bisa mengalahkan beberapa pesaing hebat di kelas. Gue mulai belajar mati-matian, rajin men­dengarkan materi, dan rajin bikin PR. Sampai pada akhirnya, gue berada di suatu titik yang membuat gue tiba-tiba berpikir, “Buat apa gue belajar mati-matian dan dapet juara di kelas? Toh kalaupun gue juara, gue enggak bakalan ada di kelas favorit.” 

Pemindahan murid yang meraih tiga besar di kelas dan dimasukkan ke dalam kelas favorit sudah dilakukan setahun yang lalu, saat murid masih duduk di kelas 1 SMP. Dan itu hanya dilakukan sekali pada tiap angkatan murid. Jadi, buat gue yang udah duduk di kelas 2 SMP, ketika itu mendadak merasa hopeless. Gue udah terlambat untuk meraih posisi tiga besar di kelas. 

Mulai hari itu, gue mengabaikan janji yang gue buat dan yang sempat gue jalani. Mulai hari itu juga, gue bener-bener ngerasa enggak berguna ada di sekolah. Kerjaan gue cuma jajan, mencatat, ngerumpi, jajan, dan ulangi begitu lagi dari awal. Cuma itu. Kegiatan enggak berguna seperti itu berlanjut gue lakukan sampai gue lulus SMP.

Sejak awal masuk SMK, gue merasa bahwa umur gue bukan lagi dikategorikan dalam fase anak-anak. Ya, emang masih dalam label anak remaja juga, sih. Tapi, entah kenapa semenjak masuk SMK, gue ngerasa kalo gue sudah bisa mengikrarkan janji dan juga menepatinya. Sebenarnya ada rasa waswas ketika gue mem­buat sebuah janji atau sekadar mengecamkan suatu keharusan pada diri sendiri. Takut kalau sewaktu-waktu gue itu bakal kesulitan untuk melaksanakannya. Tapi, sebisa mungkin gue selalu meyakin­kan diri sendiri bahwa gue bisa berjanji dan menepati janji. 

Di awal SMK, gue pernah berjanji untuk tidak akan jatuh cinta pada siapa pun. Karena kalo dipikir-pikir, jatuh cinta, kemudian pacaran antar sesama anak sekolahan, itu hanya akan mengganggu fokus gue di sekolah. Jadi, selama MOS, gue yakin dan memantapkan hati bahwa gue tidak akan berpacaran selama tiga tahun ke depan di sekolah ini. 

Selesai MOS, besok harinya masuk kelas, gue malah ditembak. Mana yang nembak cowok ganteng pula. Ya, siapa yang nolak? 

Gue melanggar janji yang telah gue buat sendiri. 

Pernah suatu hari, gue dan beberapa teman berencana untuk bolos sekolah dan pergi ke suatu tempat wisata. Jarak dari rumah gue ke daerah wisata itu sepertinya memakan waktu 3 jam untuk pergi dan 3 jam untuk pulang. Total keseluruhannya 6 jam. Ada sekitar belasan anak yang ikut. Masing-masing anak sudah memiliki tugasnya sendiri-sendiri. Ada yang bertugas untuk menyiapkan camilan, makanan berat, ada yang bertugas untuk membawa minuman, ada yang bertugas untuk membawa kamera DSLR, ada yang bertugas untuk membawa jerigen bensin, dan tugas-tugas lainnya. 

Fatal, saking excited-nya gue berangkat dari rumah menuju sekolah jam setengah 6 pagi. Btw, kita memang janjian ngumpul di sekolah. Lebih tepatnya di belakang sekolah. Dan Ibu gue, ternyata menaruh curiga saat melihat gue pamit berangkat sekolah sepagi itu. Ya iyalah anjir, ya kali ada murid yang berangkat sekolah jam setengah 6. 

Singkat cerita, rencana indah yang kami bangun bersama gagal seketika. Gue disuruh pulang ke rumah dan dimarahi oleh Ibu. Saat itu juga, gue berjanji di hadapan Ibu untuk tidak berbohong dan tidak akan pergi jauh-jauh tanpa seizin darinya. 

Naik ke kelas 2 SMK, gue melanggar janji itu. Gue bahkan semakin menjadi-jadi untuk pergi ke daerah mana pun berbekal motor dan nekat yang besar. Sekali, dua kali, semuanya masih aman. Setiap kali gue berada dalam perjalanan jauh bersama teman-teman sekolah yang tentunya telah membohongi Ibu terlebih dahulu, gue selalu merasa bersalah. Gue enggak pantas berjanji di hadapan Ibu ketika itu. Gue enggak pantas untuk memegang janji. Namun, semua pikiran dan perasaan bersalah itu hilang ketika gue sampai di lokasi wisata yang gue tuju. Anjis memang. 


Setelah lulus sekolah dan alhamdulillah mendapat pekerjaan, gue mulai mengubah cara bagaimana mengatur pola hidup gue sendiri. Gue banyak sekali membuat beberapa janji dengan tujuan untuk mengubah gue menjadi sosok Wulan yang lebih baik. Mulai dari janji untuk menabung dan menyisihkan sebagian gaji yang gue terima setiap bulan, janji untuk bersikap menjadi lebih dewasa, janji untuk lebih terbuka dengan keluarga, janji untuk tidak lagi meminta uang kepada orang tua sekalipun keuangan sedang sekarat di akhir bulan, janji untuk bisa berkuliah sebelum memasuki umur 23 tahun, dan banyak sekali janji lainnya yang gue buat. 

Alhamdulillah, sedikit demi sedikit gue bisa menepati janji itu. Alhamdulillah lagi gue bisa merasakan bagaimana duduk di bangku kuliah di umur gue yang masih menginjak 19 tahun ketika itu. Gue juga bisa menepati janji gue untuk keluar dari zona introvert dan mulai mencoba terbuka dengan orang terdekat gue. 

Tahun 2014 lalu, gue mulai aktif ngeblog. Bagi gue, semua tulisan di blog adalah momen-momen penting yang enggak akan gue lupain sampai kapan pun. Gue pernah janji dan bertekad kepada diri gue sendiri untuk terus menulis di blog dari masih lajang seperti saat ini, sampai gue akan menikah, punya anak, bahkan sampai tua pun gue bakalan nulis di blog. 

Intinya, bagi gue blog akan mencatat dan merekam kisah perjalanan hidup gue. Tapi apaan? Sampai saat ini gue malah masih mood-mood-an nulis di blog. Pas kebelet nulis, eh waktunya enggak memadai. Pas banyak ide, eh banyak kerjaan. Pas banyak waktu luang, gue membatin, Yah ilah, mau nulis apaan nih di blog? 

Ya seperti itu. 

Jujur, gue sendiri masih belum bisa menepati janji. Karena itu, gue enggak berani untuk memberi janji kepada orang lain. Wong janji ke diri sendiri aja masih sering gue langgar. Karena itu pula, mulai hari ini gue bakalan berjanji untuk selalu menepati janji. Semoga saja itu bukan wacana. Aamiin.

--

Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/love-locks-metal-love-love-symbol-4062562/

Minggu, 25 Agustus 2019

Fiksi Kilat

Tewas 

Oleh Darma Kusumah 


Zaki sudah memikirkan cara untuk membunuh Ciko. Ia telah menyiapkan pisau dapur di tangannya. Layaknya seorang pencuri, Zaki mengendap-endap mendekati Ciko dengan tangan kanan yang mengacungkan pisau. Dari belakang Zaki berhasil menyekap Ciko. Tidak ada perlawanan yang cukup dari Ciko, karena memang tubuh Zaki jauh lebih besar. Tanpa ragu Zaki meraih leher dan dengan cepat mendaratkan pisau tepat di atas leher Ciko, lalu menggoroknya. Terdengar suara Ciko yang mengerang kesakitan. Tubuhnya mengejang, meronta seperti ikan yang keluar dari kolam. Ciko hanya menatap Zaki dengan penuh emosi. Tatapan mata Ciko seakan mengutuk Zaki. Sampai akhirnya Ciko tewas di tempat.

Beberapa saat kemudian, Ibu Zaki datang. Ibunya terkejut melihat Zaki yang memegang pisau berlumuran darah di halaman rumahnya. Lalu kagetnya itu semakin menjadi-jadi sewaktu menemukan Ciko tewas di dekatnya. Ia langsung berlari mendekati Zaki. “Astagfirullahaladzim, Zaki. Istigfar kamu, Nak. Istigfar,” ujar ibunya. “Kamu habis dari mana sampai kesetanan kayak begini?”

“I-ibu... kok Ibu sudah pulang?” kata Zaki sedikit terkejut. “Bukannya tadi bilang perginya sampai sore?”

“Kamu kenapa tega membunuh Ciko, Zak?” tanya ibunya seakan-akan menginterogasinya. Mengabaikan pertanyaan Zaki. 

“Maaf, Bu. Aku terpaksa melakukan ini.”

“Apa kamu lupa pesan ayahmu untuk terus menjaga dan merawat Ciko?” tanya si Ibu mencoba mengingatkan wasiat ayahnya. 

Maafin Zaki, Bu,” ujar Zaki, lalu menangis. 

Panjang lebar Ibu Zaki berbicara, memarahi Zaki yang telah melanggar wasiat ayahnya. Sesekali juga menceritakan kisah ayahnya saat dahulu selalu merawat Ciko, bahkan menganggap seperti anaknya sendiri. Ayahnya dulu menemukan Ciko yang masih kecil di dekat halaman rumah mereka. Kenapa ia ditinggalkan sendirian? Ke manakah orang tuanya? 

Zaki pun hanya menunduk mendengarkan omelan panjang ibunya yang seperti kereta. Tangisnya kini menjadi semakin keras dan deras. 

“Ciko itu kan ayam petarung pencari nafkah keluarga kita, Zaki! Ayam jago aduan kebanggaan ayahmu. Kalau ayahmu masih hidup pasti ia akan marah besar kepadamu.” 

Zaki kembali meminta maaf.

“Sudahlah, Ibu capek baru pulang malah marah-marah begini,” ujar Ibu Zaki menyudahi omelannya. 

“Terus Ciko gimana, Bu?” 

“Ya udah, enggak apa-apa. Udah telanjur. Mending kamu lanjutkan buat bersihin bulu-bulunya Ciko. Ibu mau ke warung beli kecap. Sepertinya daging Ciko enak juga kalau dibikin ayam kecap pedas manis.”
 



Temannya Setan 

Oleh Wulan 


Pada suatu hari, Setan berjumpa dengan Mubazir di sebuah restoran. Setan merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat paras Mubazir yang menggemaskan. Mereka kemudian berkenalan. Saat ketiga kalinya Setan bertemu lagi dengan Mubazir di restoran itu, akhirnya si Setan pun memberanikan diri untuk menyatakan cinta kepadanya. Tapi Mubazir justru menjawab, “Maaf, aku enggak bisa menerimamu.”

“Kenapa? Apakah aku kurang keren? Rayuanku kurang maut?” 

“Bukan. Kamu itu sudah lebih dari cukup buatku.” 

“Terus kenapa? Apa alasannya kamu enggak mau sama aku?” 

“Karena kata orang-orang, Mubazir itu temannya Setan. Kita ditakdirkan untuk berteman, bukan berpacaran.” 


Pendekatan 

Oleh Robby 


Prinsip “biarkan saja mengalir apa adanya” itu kadang tidak selalu benar dalam fase pendekatan. Aku lebih percaya prinsip “buruan tembak sebelum kalah cepat”. 

“Gita, aku suka sama kamu. Maukah kamu menjadi pacarku?” 

“Gila... sekarang kamu berani banget.”

“Lalu, bagaimana jawaban kamu?” 

“Nanti dulu deh. Mending makan dulu indomi di atas meja tuh,” kata ibuku. “Udah Ibu bikinin dari tadi juga. Nanti keburu dingin.” 

“Oke, Ma. Tapi nanti lanjut lagi, ya, latihannya.” 

Aku pun segera melahap mi instan itu.


Sahabat Baik 

Oleh Yoga 


“Belakangan ini sikap Rani mendadak beda, Yog. Dia enggak ada perhatiannya lagi sama gue. Jadi cuek banget. Apa mungkin dia selingkuh, ya?” Agus mencerocos kepadaku, begitu kami selesai menyantap pesanan masing-masing. 

Satu jam sebelumnya, Agus menghubungiku lewat WhatsApp untuk bertemu. Katanya, ia ingin curhat tentang hubungannya dengan si pacar yang semakin memburuk. Aku pun mengusulkan untuk bertemu di kafe yang dekat dengan rumahnya, yakni Kafe WIRDY. Namun, aku kaget juga saat ia barusan menduga pacarnya berselingkuh. Sebagai sahabat yang baik, aku kemudian berkata, “Kayaknya enggak mungkin deh, Gus. Masa iya Rani setega itu sama lu?”

“Tapi dalam sebuah hubungan enggak ada yang namanya enggak mungkin, bukan? Yang udah pacaran selama tujuh tahun, udah mempersiapkan pernikahan, terus tiba-tiba bisa gagal kawin karena salah satu calon ketemu sama mantannya lagi.”

“Iya, sih. Tapi lu mesti tetap percaya dong sama dia, Gus.” 

“Gue harus percaya kayak gimana lagi, Yog?”

Aku pun berkata begini untuk menenangkannya: “Walaupun kalian baru pacaran setahun lebih, tapi kan lu sama Rani udah cukup banyak menghadapi suka-duka bersama. Mungkin aja dia cuma lagi jenuh sama lu. Atau bisa juga dia lagi ada masalah, lagi PMS, atau apa gitu. Terus lu deh yang jadi kena imbasnya.” 

Awalnya, ia masih ragu-ragu dan bilang kalau memiliki firasat yang tidak enak tentang pacarnya. Tapi lagi-lagi aku meyakinkan Agus bahwa itu hanyalah perasaan khawatir yang berlebihan. Lalu, aku mencoba untuk menjelaskannya lewat sudut pandang lain. Bagaimana kalau Agus yang dituduh berselingkuh seperti itu tanpa ada bukti nyata.

“Ya, gue pasti kesel banget. Masa gue enggak macam-macam, terus dituduh selingkuh? Sakit jugalah dituduh tanpa bukti.” 

“Nah, ya udah. Coba lu bayangin perasaan Rani pas lu curigain kayak begitu.” 

Akhirnya, bibir Agus perlahan mengembang. Kini raut wajahnya tampak lebih baik. Tidak semurung sebelumnya.

Tring. Ponselku berbunyi, terdapat pesan masuk. Aku segera membacanya. Mataku langsung melotot melihat pesan tersebut. Agus langsung menatapku heran. 

“Duh, gue disuruh nganterin Nyokap nih. Mesti buru-buru pulang. Sori ya, Gus.” 

“Pantesan, sampai kaget begitu lu,” ujarnya, lalu disusul dengan tawa. 

“Biasalah. Kayak enggak tau Ibu Negara aja. Sekali lagi, sori banget.” 

“Enggak apa-apa, santai aja. Makasih udah mau dengerin curhatan gue, Yog. Emang cuma Yogi dah sahabat terbaik gue.”

“Santai, Gus. Terus lu masih mau di sini dulu atau balik juga?” 

Agus lalu berkata kalau masih ingin di kafe itu. Ia mau minum kopi untuk menenangkan pikiran dan perasaannya. 

Di parkiran kafe, aku membuka pesan itu lagi. Sebuah foto perempuan setengah bugil dengan caption, “Aku udah siap nih. Sini kamu cepetan ke kosan”. 

Pesan itu dari Rani, bukan ibuku. 

— 

Seluruh kisah di tulisan ini pernah termuat di buku digital Kafe WIRDY yang kemudian disunting ulang oleh Yoga Akbar S.

Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/flash-thunder-thunderstorm-forward-3879330/

Sabtu, 24 Agustus 2019

Seperti Utang, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Oleh: Yoga Akbar S. Pertama kali dipublikasi di blog akbaryoga.com

--

Saat saya baru saja mengunggah foto makanan di Instagram, sekitar satu menit setelah itu, Rani—salah seorang teman kantor sewaktu kerja lepas—memberikan komentar, “Gaaa, lu enggak kangen apa sama gue?” 

Membaca komentarnya itu, saya jelas langsung terkejut. Tapi saya enggak kaget tentang perempuan yang bilang kangen terlebih dahulu kepada laki-laki seperti itu. Saya justru mendukung sekali kalau perempuan mau bilang duluan. Karena “Masa cewek ngomong duluan, sih?” alias patriarki adalah hal bodoh dan kolot buat saya.

Mungkin saya kelewat percaya diri menebak Rani lagi kangen, sebab tiba-tiba bertanya kayak begitu. Namun, saya juga punya hak untuk menganggap pertanyaan itu secara enggak langsung ialah ungkapan hatinya kepada saya—yang ia coba siasati agar tidak terlalu menjurus, kan? Terlepas dari hal itu, saya hanya heran apa hubungannya sebuah makanan dengan perasaan rindu yang ia tanyakan di kolom komentar tersebut. 

Anggaplah ketika itu ia mengomentari foto nasi uduk yang saya unggah. Apa yang dia pikirkan tentang makanan itu sampai-sampai bertanya perihal kangen? Seingat saya, kami enggak pernah makan bareng. Intinya, saya jadi kepikiran suatu hal: gimana caranya bilang kangen dengan sebuah siasat kayak yang Rani lakukan?




Sialnya, siapa coba orang yang bisa saya rindukan? Saya lagi tidak punya kekasih. Gebetan juga belum ada karena saya masih malas mencarinya. Saya pun bingung sendiri. Tapi sejujurnya, sekarang ini terdapat dua hal yang entah mengapa membuat saya kangen. Pertama, saya sedang rindu momen menulis saat terbangun dari tidur pada pagi hari. Lalu yang kedua, saya kangen menulis dengan tema tertentu bersama teman-teman saya yang tergabung dalam grup WIRDY. Mungkin bisa dibilang hal itu sekaligus perasaan rindu saya terhadap mereka.

Untuk urusan yang pertama, saya memang sudah lama sekali tidak menulis begitu terbangun dari tidur. Padahal kegiatan itu lebih berfaedah daripada mengecek ponsel dan membuka media sosial. Lagian, menulis pagi-pagi itu rasanya asyik sekali. Keadaan di sekitar yang begitu hening bagi saya sangatlah cocok untuk menulis.

Biasanya, apa yang saya tulis setelah bangun tidur itu sangatlah spontan. Di mana isi kepala langsung memberi tugas kepada tangan untuk menceritakan segala hal tanpa berpikir macam-macam. Saya kerap menuliskan sebagian mimpi yang saya ingat setelah terbangun. Barangkali ke depannya bisa berguna untuk suatu adegan dalam sebuah cerpen.

Jika ingin menulis sehabis bangun tidur seperti itu lagi, mungkin dalam waktu dekat saya bisa melakukannya. Saya cuma perlu berniat dengan sungguh-sungguh, tidur lebih awal, memasang alarm sebelum subuh, dan begitu terbangun saya akan langsung menyalakan laptop. Jadi, cukup mudah menuntaskan rasa kangen untuk hal yang pertama.

Persoalan kedua inilah yang bagi saya agak menyebalkan. Menulis untuk diri sendiri saja kadang sulitnya bukan main. Lantas, bagaimana dengan mengajak orang lain? Saya kemudian berpikir, mending ambil cara tergampangnya dulu dengan bilang kangen kepada mereka. Barulah setelah itu mengajak menulis bertema lagi. 

Terus, gimana caranya saya bilang kangen kepada mereka di grup WhatsApp? Terkadang, ngomong rindu kepada teman sendiri di teks seperti itu pun saya masih suka malu—atau mungkin gengsi? Saya akhirnya memikirkan berbagai cara supaya hasrat kangen ini cepat tersalurkan.

Dari mulai mengikuti petuah untuk jujur dan apa adanya saja dengan bilang, “Hai, teman-teman! Apa kabar? Saya rindu nih sama kalian”, tapi kok rasanya enggak banget. Kemudian mau sok-sok romantis bikin puisi, malah takut mereka nanya, “Itu maksudnya apaan ya, Yog? Gue kurang ngerti soal puisi”, ujung-ujungnya saya balik ke cara pertama. Setelah itu, kalau mau coba kirim pesan suara, tapi keadaannya saya lagi batuk. Takutnya pas ngomong suaranya jadi tidak jelas karena bengek dan terdengar aneh. Bukannya rindu itu tersampaikan, bisa-bisa saya justru disangka mau mati. 

Lalu, bagaimana menuntaskan kangen kepada mereka dengan cara yang tidak biasa? Enggak mungkin juga saya menyambangi mereka satu per satu ke rumahnya. Kalau bisa teleportasi atau punya pintu ke mana saja mah enggak akan jadi masalah (berimajinasi kok segitunya, sih?). Akhirnya, saya berniat bikin sebuah cerpen tentang persahabatan. Saya sudah ada gambaran cerita akan bergulir ke arah mana, serta gagasan apa yang mau saya utarakan. Lebih-lebih saya juga habis membaca novel Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya karangan Haruki Murakami. Novel itu kisahnya cukup relevan dengan grup kecil saya. Apalagi sama-sama lima orang; 3 laki-laki dan 2 perempuan. Pokoknya, persiapan saya untuk membuat cerpen itu sudah mantap betul. Saya tinggal menuliskannya.

Tololnya, cerita itu malah enggak kelar-kelar juga ketika sudah berjalan dua minggu. Sungguh ini bukan karena saya menunda-nunda dan malas. Saya tentu sudah menuliskannya, tapi entah kenapa selalu ada rasa kurang sreg ketika menyuntingnya. Saya bahkan sampai bikin tiga versi dari premis yang sama. Tapi tetap saja enggak ada satu pun yang cocok. Saking keselnya, semua cerpen itu saya hapus. Sedihnya, di folder Recycle Bin cerpen itu sudah lenyap ketika saya cek. Mungkin saya hapus secara pemanen dengan menekan tombol “Shift” dan “Del” secara bersamaan. Setelahnya saya langsung sadar, betapa gobloknya diri saya kala itu.

Mau tak mau, sudi enggak sudi, saya mesti merelakannya. Namun, saya telah kehilangan minat untuk bikin cerpen dari ulang. Saya juga sudah malas mencari cara lainnya. Alhasil, saya cuma bisa membatin, nanti aja kalau gitu bilang kangennya sambil maaf-maafan pas Lebaran.

Menunggu sekitar satu minggu itu cukup melelahkan dan menjengkelkan. Saya pun tau-tau kepikiran, bagaimana kalau rasa rindu itu akhirnya memudar? Hingga saya nggak lagi kepengin untuk bikin tulisan bertema bersama mereka? Oleh sebab itu, saya berusaha menjaga rasa kangen itu agar tidak hilang.

Saya mulai dari mengunjungi blog mereka satu per satu, setelahnya saya mengeklik label “WIRDY”, dan membaca setiap tulisannya. Begitu selesai, saya baca ulang tulisan saya sendiri tentang mereka. Mata saya mendadak panas dan sedikit keringat keluar dari sudut-sudutnya. Momen yang berengsek sekali untuk dikenang.

Singkat cerita, masjid-masjid di dekat rumah sudah mengumandangkan takbir. Besok sudah Idulfitri. Penantian untuk bilang kangen dan maaf ini akhirnya kelar juga. Saya pun tidur cepat, lalu terbangun menjelang waktu azan Subuh. Seusai Subuhan, saya enggak tahu harus melakukan apa sembari menunggu waktunya salat Id. Saat saya bersiap-siap mau mandi dan mengalungkan handuk, rupanya kamar mandi sudah diisi terlebih dahulu oleh ibu saya.

Saya akhirnya membuka laptop, lalu membuka Ms. Word. Niatnya, agar memenuhi janji kepada diri sendiri untuk menulis setelah bangun tidur pada pagi hari. Saya mulanya cuma ingin menulis singkat saja seraya menanti ibu saya selesai mandi. Tapi, tiba-tiba tangan saya malah mengetik tentang perasaan yang telah saya pendam selama ini kepada WIRDY.

Seusai membaca ulang dan mengedit tulisan tersebut, saya betul-betul enggak menyangka. Ternyata saya bisa memadukan kedua hal yang tengah saya rindukan itu ke dalam satu tulisan. Saya puas dan bahagia sekali. Janji (yang lazimnya sudah seperti utang) kepada diri sendiri untuk jujur, mau curhat lagi di blog, dan menulis pada pagi hari akhirnya dapat terpenuhi. Rasa rindu kepada mereka untuk bilang kangen pun sudah terbayar lunas. Walaupun belum kesampaian untuk bikin tulisan bertema bersama mereka lagi, paling enggak semoga saja dapat menumbuhkan semangat menulis mereka dan tergerak untuk meramaikan dunia blog lagi. Aamiin.

Inilah tulisan permintaan maaf saat Lebaran dari saya, mewakilkan grup WIRDY, buat kawan-kawan bloger: Selamat Lebaran dan Permintaan Maaf.