Minggu, 25 Agustus 2019

Fiksi Kilat

Tewas 

Oleh Darma Kusumah 


Zaki sudah memikirkan cara untuk membunuh Ciko. Ia telah menyiapkan pisau dapur di tangannya. Layaknya seorang pencuri, Zaki mengendap-endap mendekati Ciko dengan tangan kanan yang mengacungkan pisau. Dari belakang Zaki berhasil menyekap Ciko. Tidak ada perlawanan yang cukup dari Ciko, karena memang tubuh Zaki jauh lebih besar. Tanpa ragu Zaki meraih leher dan dengan cepat mendaratkan pisau tepat di atas leher Ciko, lalu menggoroknya. Terdengar suara Ciko yang mengerang kesakitan. Tubuhnya mengejang, meronta seperti ikan yang keluar dari kolam. Ciko hanya menatap Zaki dengan penuh emosi. Tatapan mata Ciko seakan mengutuk Zaki. Sampai akhirnya Ciko tewas di tempat.

Beberapa saat kemudian, Ibu Zaki datang. Ibunya terkejut melihat Zaki yang memegang pisau berlumuran darah di halaman rumahnya. Lalu kagetnya itu semakin menjadi-jadi sewaktu menemukan Ciko tewas di dekatnya. Ia langsung berlari mendekati Zaki. “Astagfirullahaladzim, Zaki. Istigfar kamu, Nak. Istigfar,” ujar ibunya. “Kamu habis dari mana sampai kesetanan kayak begini?”

“I-ibu... kok Ibu sudah pulang?” kata Zaki sedikit terkejut. “Bukannya tadi bilang perginya sampai sore?”

“Kamu kenapa tega membunuh Ciko, Zak?” tanya ibunya seakan-akan menginterogasinya. Mengabaikan pertanyaan Zaki. 

“Maaf, Bu. Aku terpaksa melakukan ini.”

“Apa kamu lupa pesan ayahmu untuk terus menjaga dan merawat Ciko?” tanya si Ibu mencoba mengingatkan wasiat ayahnya. 

Maafin Zaki, Bu,” ujar Zaki, lalu menangis. 

Panjang lebar Ibu Zaki berbicara, memarahi Zaki yang telah melanggar wasiat ayahnya. Sesekali juga menceritakan kisah ayahnya saat dahulu selalu merawat Ciko, bahkan menganggap seperti anaknya sendiri. Ayahnya dulu menemukan Ciko yang masih kecil di dekat halaman rumah mereka. Kenapa ia ditinggalkan sendirian? Ke manakah orang tuanya? 

Zaki pun hanya menunduk mendengarkan omelan panjang ibunya yang seperti kereta. Tangisnya kini menjadi semakin keras dan deras. 

“Ciko itu kan ayam petarung pencari nafkah keluarga kita, Zaki! Ayam jago aduan kebanggaan ayahmu. Kalau ayahmu masih hidup pasti ia akan marah besar kepadamu.” 

Zaki kembali meminta maaf.

“Sudahlah, Ibu capek baru pulang malah marah-marah begini,” ujar Ibu Zaki menyudahi omelannya. 

“Terus Ciko gimana, Bu?” 

“Ya udah, enggak apa-apa. Udah telanjur. Mending kamu lanjutkan buat bersihin bulu-bulunya Ciko. Ibu mau ke warung beli kecap. Sepertinya daging Ciko enak juga kalau dibikin ayam kecap pedas manis.”
 



Temannya Setan 

Oleh Wulan 


Pada suatu hari, Setan berjumpa dengan Mubazir di sebuah restoran. Setan merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat paras Mubazir yang menggemaskan. Mereka kemudian berkenalan. Saat ketiga kalinya Setan bertemu lagi dengan Mubazir di restoran itu, akhirnya si Setan pun memberanikan diri untuk menyatakan cinta kepadanya. Tapi Mubazir justru menjawab, “Maaf, aku enggak bisa menerimamu.”

“Kenapa? Apakah aku kurang keren? Rayuanku kurang maut?” 

“Bukan. Kamu itu sudah lebih dari cukup buatku.” 

“Terus kenapa? Apa alasannya kamu enggak mau sama aku?” 

“Karena kata orang-orang, Mubazir itu temannya Setan. Kita ditakdirkan untuk berteman, bukan berpacaran.” 


Pendekatan 

Oleh Robby 


Prinsip “biarkan saja mengalir apa adanya” itu kadang tidak selalu benar dalam fase pendekatan. Aku lebih percaya prinsip “buruan tembak sebelum kalah cepat”. 

“Gita, aku suka sama kamu. Maukah kamu menjadi pacarku?” 

“Gila... sekarang kamu berani banget.”

“Lalu, bagaimana jawaban kamu?” 

“Nanti dulu deh. Mending makan dulu indomi di atas meja tuh,” kata ibuku. “Udah Ibu bikinin dari tadi juga. Nanti keburu dingin.” 

“Oke, Ma. Tapi nanti lanjut lagi, ya, latihannya.” 

Aku pun segera melahap mi instan itu.


Sahabat Baik 

Oleh Yoga 


“Belakangan ini sikap Rani mendadak beda, Yog. Dia enggak ada perhatiannya lagi sama gue. Jadi cuek banget. Apa mungkin dia selingkuh, ya?” Agus mencerocos kepadaku, begitu kami selesai menyantap pesanan masing-masing. 

Satu jam sebelumnya, Agus menghubungiku lewat WhatsApp untuk bertemu. Katanya, ia ingin curhat tentang hubungannya dengan si pacar yang semakin memburuk. Aku pun mengusulkan untuk bertemu di kafe yang dekat dengan rumahnya, yakni Kafe WIRDY. Namun, aku kaget juga saat ia barusan menduga pacarnya berselingkuh. Sebagai sahabat yang baik, aku kemudian berkata, “Kayaknya enggak mungkin deh, Gus. Masa iya Rani setega itu sama lu?”

“Tapi dalam sebuah hubungan enggak ada yang namanya enggak mungkin, bukan? Yang udah pacaran selama tujuh tahun, udah mempersiapkan pernikahan, terus tiba-tiba bisa gagal kawin karena salah satu calon ketemu sama mantannya lagi.”

“Iya, sih. Tapi lu mesti tetap percaya dong sama dia, Gus.” 

“Gue harus percaya kayak gimana lagi, Yog?”

Aku pun berkata begini untuk menenangkannya: “Walaupun kalian baru pacaran setahun lebih, tapi kan lu sama Rani udah cukup banyak menghadapi suka-duka bersama. Mungkin aja dia cuma lagi jenuh sama lu. Atau bisa juga dia lagi ada masalah, lagi PMS, atau apa gitu. Terus lu deh yang jadi kena imbasnya.” 

Awalnya, ia masih ragu-ragu dan bilang kalau memiliki firasat yang tidak enak tentang pacarnya. Tapi lagi-lagi aku meyakinkan Agus bahwa itu hanyalah perasaan khawatir yang berlebihan. Lalu, aku mencoba untuk menjelaskannya lewat sudut pandang lain. Bagaimana kalau Agus yang dituduh berselingkuh seperti itu tanpa ada bukti nyata.

“Ya, gue pasti kesel banget. Masa gue enggak macam-macam, terus dituduh selingkuh? Sakit jugalah dituduh tanpa bukti.” 

“Nah, ya udah. Coba lu bayangin perasaan Rani pas lu curigain kayak begitu.” 

Akhirnya, bibir Agus perlahan mengembang. Kini raut wajahnya tampak lebih baik. Tidak semurung sebelumnya.

Tring. Ponselku berbunyi, terdapat pesan masuk. Aku segera membacanya. Mataku langsung melotot melihat pesan tersebut. Agus langsung menatapku heran. 

“Duh, gue disuruh nganterin Nyokap nih. Mesti buru-buru pulang. Sori ya, Gus.” 

“Pantesan, sampai kaget begitu lu,” ujarnya, lalu disusul dengan tawa. 

“Biasalah. Kayak enggak tau Ibu Negara aja. Sekali lagi, sori banget.” 

“Enggak apa-apa, santai aja. Makasih udah mau dengerin curhatan gue, Yog. Emang cuma Yogi dah sahabat terbaik gue.”

“Santai, Gus. Terus lu masih mau di sini dulu atau balik juga?” 

Agus lalu berkata kalau masih ingin di kafe itu. Ia mau minum kopi untuk menenangkan pikiran dan perasaannya. 

Di parkiran kafe, aku membuka pesan itu lagi. Sebuah foto perempuan setengah bugil dengan caption, “Aku udah siap nih. Sini kamu cepetan ke kosan”. 

Pesan itu dari Rani, bukan ibuku. 

— 

Seluruh kisah di tulisan ini pernah termuat di buku digital Kafe WIRDY yang kemudian disunting ulang oleh Yoga Akbar S.

Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/flash-thunder-thunderstorm-forward-3879330/

0 Comments:

Posting Komentar