Rabu, 28 Agustus 2019

Membuat Tuhan Tertawa dengan Janji

Oleh Icha.

--

Baru-baru ini film Indonesia berjudul Promise tayang di bioskop. Satu lagi film rasa FTV penyusul film berbuah kesuksesan semu macam London Love Story dan I Love You From 38.000 Feet. Sungguh menyedihkan. Eh bukan, sungguh menggelikan. Membuat tertawa para bloger pengulas film profesional, sineas perfilman Indonesia, dan para petinggi perfilman. Membaca judul filmnya, Promise—yang berarti janji, aku jadi teringat dengan petinggi alam semesta ini. Petinggi kehidupan ini. Siapa lagi kalau bukan Tuhan Yang Maha Esa? Mudah rasanya membuat Tuhan murka atau kecewa pada kita, bawahan-Nya. Kita tinggal ciuman dengan yang bukan muhrim. Beres. Tuhan bakal langsung kecewa. Sama mudahnya dengan ingin membuat Tuhan tertawa. Kita tinggal berkaca pada kutipan dari Woody Allen, “If you want to make God laugh, tell him about your plans.” 

Tell him about your plans. Our plans. My plans



Selama aku hidup di dunia, sepertinya aku sudah sering membuat Tuhan tertawa. Rencana bisa termasuk sebagai janji, janji pada diri sendiri, yang diucapkan di dalam usaha yang berkepanjangan, doa yang dipanjatkan, dan sujud yang terus dilakukan. Janji pada diri sendiri akhir-akhir ini, yaitu aku berjanji akan memperlakukan seseorang kalau seandainya dia datang ke kotaku, Samarinda. Jangan teriakkan kepadaku kalimat, “Sebut nama!”. Yang jelas, aku mencanangkan banyak rencana. Banyak mimpi yang aku gantungkan. Dan aku membeberkannya itu kepada Tuhan setiap malam sebelum aku tidur. Misalnya, “Ya Tuhan, aku janji bakal maraton nonton film sama dia di bioskop. Mentertawakan poster film yang norak. Ngebaperin dan ngeparodiin film yang baru ditonton secara bersamaan.”; “Ya Tuhan, aku janji bakal ajak dia ke tempat-tempat yang biasanya aku pakai buat menghabiskan waktu sendirian.”; “Ya Tuhan, aku janji bakal dengan semangat menyuruh dia buat nge-bully keponakan-keponakan binalku.”; “Ya Tuhan....”; dan janji-janji berbumbu roman picisan lainnya. 

Saat itu pun tiba. Saat dia datang ke Samarinda. Dia ada di hadapanku. Saatnya janji-janjiku di atas ditepati. Saatnya dia juga menepati janji-janjinya. Tapi seperti kalimat andalan dokter di tiap film atau sinetron pada adegan tak bisa menyelamatkan nyawa pasiennya, aku harus berkata, “Maaf, Tuhan berkehendak lain.” Janji-janji di atas aku langgar karena keterbatasan waktu dan halangan, juga kejutan tak terduga lainnya. Bisa dibilang pertemuan kami banyak plot twist-nya. 

Awalnya aku bakal jemput dia bareng Kak Ira (kakak sepupuku) dan Max (temanku), tapi enggak jadi karena begitu dia tiba di Balikpapan, agen travel menuju Samarinda sudah tutup. Dia pun menghabiskan malam pertamanya di daerah WITA bukan sama aku, melainkan sama Yogaesce—bloger asal Balikpapan yang punya julukan Siluman Capung. Aku memendam rasa penasaran semalaman. Begitu pun juga dia. Aku yang lagi menginap di rumah Kak Ira, mengalami susah tidur karena memikirkan dia sedang berbuat apa aja dengan Yogasece bajingak. 

Pas besoknya, hari Minggu, dia sampai di Samarinda, aku dan dia berencana buat nonton film di bioskop, tapi malah diajak ke Tenggarong oleh Kak Ira. Kami enggak cuma bertiga, tapi bareng Max dan Kak Hendra juga. Awalnya kami janji bakal ketemu bloger, Ichsan Ramadhani—bloger Samarinda yang punya julukan Ayam Sakit—sehabis dari Tenggarong, tapi malah enggak jadi karena kemalaman. Threesome pun batal. Lalu di hari Senin, aku janji pada diriku sendiri untuk izin enggak masuk kerja, tapi aku ingkari karena suatu hal. Jadi, aku enggak menghabiskan waktu seharian sama dia. Kami cuma bertemu di jam istirahat makan siangku dan pas aku pulang kerja. Baru deh pas malamnya, aku dan dia mutusin buat nonton film di bioskop. Janji mulai ditepati, tapi enggak sepenuhnya. Hanya satu film yang kami tonton karena keterbatasan waktu. 

Aku janji pada diriku sendiri, bakal mengantarkan kepulangannya. Aku janji bakal melihat dia naik ke mobil travel dengan senyuman sok tegar. Nyatanya, rencana bakal naik mobil travel sekitar pukul 11 sehabis nonton pun gagal, karena sudah enggak ada keberangkatan lagi. Adanya nanti sekitar pukul 3 dini hari. Badanku jadi lemas. Aku pengin banget nemenin dia, tapi... aku harus segera pulang saat itu juga. Mamaku pasti enggak ngebolehin aku buat nemenin dia sampai berangkat. Malam itu, aku menangis karena mengingkari janji lagi. Dia terus menyunggingkan senyum sambil bilang, “Enggak apa-apa. Saya udah biasa menunggu kayak gini. Kamu pulang, ya.” 

Air asin dari mataku semakin mengalir deras layaknya darah menstruasi hari pertama. Teganya aku yang membiarkan dia terlunta-lunta di kotaku sendiri. Lalu, dia meraih ujung jilbabku dan mengusapkannya ke sumber air asin itu. Aku bagaikan anak SD yang baru pulang dari acara maulid Nabi, yang sedih karena habis mendengar tausiah. Dengan rasa enggak ikhlas, aku mutusin buat pulang.

Begitu sampai rumah, aku menemani dia yang menunggu keberangkatan dengan teleponan dan nongol di grup WWF—grup di Telegram untuk bermain Werewolf. Grup yang biasanya sudah sepi pada pukul segitu, entah kenapa menjadi ramai. Mereka mungkin tau kalau ada seseorang yang harus ditemani buat menghabiskan waktu. 

Besoknya, dan beberapa hari setelahnya, aku merasa bersalah karena mengingkari banyak janji. Aku sedih dan kecewa sama diriku sendiri. Dengan terlalu optimisnya, aku yakin kalau enggak bakal ada cobaan yang menghampiri pertemuanku dengannya. Aku sombong. Aku takabur. Aku seolah lupa kalau apa pun yang bakal terjadi, itu yang nentuin Tuhan, bukan aku. Aku pantas dikerjain Tuhan kayak gitu. Tuhan seolah berkata lewat kejutan-kejutan yang Ia berikan. Berkata kalau aku jangan pernah sok tau soal apa yang akan terjadi. 

Namun, sekarang aku pengin ikutan tertawa. Aku bodoh kalau aku merasa sedih atas pertemuan kami. Banyak hal yang tak terduga, yang menyenangkan. Kalau aku enggak ke Tenggarong, aku enggak bakal main sepeda dengannya. Enggak bakal ada meme bajingak yang tercipta, yang berasal dari foto main sepeda itu. Aku enggak bakal mendengar jeritan cemas takut jatuhnya dia selama di perjalanan, kalau saja aku enggak boncengin dia ke Tenggarong. 

Aku enggak bakal tau betapa sabarnya dia menghadapi aku yang kekanak-kanakan dan panikan kalau aku bisa izin enggak masuk kerja. Aku enggak bakal dengar kebohongannya dia yang bilang kalau beli skateboard untuk ke musala dekat mal, padahal skateboard itu dia beli buat aku, kalau aku enggak masuk kerja. Aku enggak bakal kepikiran mengenalkan dia ke mamaku dengan cara yang konyol, kalau seandainya kami bisa maraton nonton film. Aku enggak bakal punya bahan buat ditulis di proyek e-book Kafe WIRDY. Aku enggak bakal punya keberanian buat nulis curhatan bajingak enggak penting ini. Selama ini aku kesusahan buat nulis curhatan. Itu sih yang paling penting. 

Perkataan Woody Allen di awal tulisan, kelihatannya bermakna sedih, bahkan bermakna menyindir. Tapi dengan kejadian ingkar janjiku yang ini, aku merasa ikut tertawa bersama Tuhan yang Mahakuasa itu seolah memarodikan janji-janjiku. Membuat kami mengalami kejadian-kejadian yang kalau difilmkan, mungkin genrenya adalah romantic comedy, bukan romantic drama. Alah, ini aku bakal diketawain Joko Anwar kalau kalimatku barusan dibaca sama dia. Jadi menurutku, enggak selamanya rencana kita bisa berjalan mulus. Janji kita bisa kita tepati. Kadang ada di mana kita pengin nepatin janji kita, tapi takdir berkata lain. Takdir bilang kalau sebaiknya janji itu diingkari saja demi jalan hidup yang lebih baik, ya walaupun sebenarnya mengingkari janji itu adalah tanda-tanda orang munafik. 

Lagian, sebenarnya sebuah janji bisa lahir bukan hanya karena pengin ditepati. Sungguh ironis. Tapi, itulah yang banyak terjadi. Para tikus berdasi bisa berjanji pada rakyat hanya karena mereka ingin mendapatkan sebuah simpati dan tentunya jabatan sebagai wakil rakyat itu. Ibu kita pernah berjanji pergi sebentar ke dokter untuk minta suntik, padahal mau berangkat kerja saat kita masih kecil. Ibu berjanji semata-mata agar kita enggak nangis lagi. Teman kita yang berjanji bakal mentraktir kita pas dia ulang tahun, bisa aja berjanji karena enggak enak sama kita yang menagih traktiran itu. Aku yang janji enggak pengin nulis curhatan lagi karena berbagai faktor, nyatanya malah nulis curhatan bajingak ini demi proyekan grup.

Aku nulis bukan karena lagi pengin berbagi cerita. Beda dengan teman-teman di grup WIRDY ini yang ingin berbagi cerita sekaligus berkarya. Jadi, inti dari tulisan ini untuk melengkapi perkataan Woody Allen di atas, adalah... jangan percaya semua janji kalau enggak mau diketawain oleh siapa pun. Termasuk Tuhan. Termasuk janji yang diucapkan sama seseorang, atau bahkan janji kita ke seseorang. Janji bakal terus sama-sama untuk selamanya, misalnya. Cukup lakukan saja sebisanya. Cukup jalani saja alurnya sambil berusaha. Kalau kita berjanji dan percaya banget bisa kita tepati bahkan sampai takabur, siap-siap dikerjain deh sama Tuhan.

--

PS: Bajingak merupakan versi lain dari bajingan.

Gambar dicomot dari: https://pixabay.com/photos/pinky-swear-friends-pinky-promise-329329/

0 Comments:

Posting Komentar