Sabtu, 24 Agustus 2019

Seperti Utang, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Oleh: Yoga Akbar S. Pertama kali dipublikasi di blog akbaryoga.com

--

Saat saya baru saja mengunggah foto makanan di Instagram, sekitar satu menit setelah itu, Rani—salah seorang teman kantor sewaktu kerja lepas—memberikan komentar, “Gaaa, lu enggak kangen apa sama gue?” 

Membaca komentarnya itu, saya jelas langsung terkejut. Tapi saya enggak kaget tentang perempuan yang bilang kangen terlebih dahulu kepada laki-laki seperti itu. Saya justru mendukung sekali kalau perempuan mau bilang duluan. Karena “Masa cewek ngomong duluan, sih?” alias patriarki adalah hal bodoh dan kolot buat saya.

Mungkin saya kelewat percaya diri menebak Rani lagi kangen, sebab tiba-tiba bertanya kayak begitu. Namun, saya juga punya hak untuk menganggap pertanyaan itu secara enggak langsung ialah ungkapan hatinya kepada saya—yang ia coba siasati agar tidak terlalu menjurus, kan? Terlepas dari hal itu, saya hanya heran apa hubungannya sebuah makanan dengan perasaan rindu yang ia tanyakan di kolom komentar tersebut. 

Anggaplah ketika itu ia mengomentari foto nasi uduk yang saya unggah. Apa yang dia pikirkan tentang makanan itu sampai-sampai bertanya perihal kangen? Seingat saya, kami enggak pernah makan bareng. Intinya, saya jadi kepikiran suatu hal: gimana caranya bilang kangen dengan sebuah siasat kayak yang Rani lakukan?




Sialnya, siapa coba orang yang bisa saya rindukan? Saya lagi tidak punya kekasih. Gebetan juga belum ada karena saya masih malas mencarinya. Saya pun bingung sendiri. Tapi sejujurnya, sekarang ini terdapat dua hal yang entah mengapa membuat saya kangen. Pertama, saya sedang rindu momen menulis saat terbangun dari tidur pada pagi hari. Lalu yang kedua, saya kangen menulis dengan tema tertentu bersama teman-teman saya yang tergabung dalam grup WIRDY. Mungkin bisa dibilang hal itu sekaligus perasaan rindu saya terhadap mereka.

Untuk urusan yang pertama, saya memang sudah lama sekali tidak menulis begitu terbangun dari tidur. Padahal kegiatan itu lebih berfaedah daripada mengecek ponsel dan membuka media sosial. Lagian, menulis pagi-pagi itu rasanya asyik sekali. Keadaan di sekitar yang begitu hening bagi saya sangatlah cocok untuk menulis.

Biasanya, apa yang saya tulis setelah bangun tidur itu sangatlah spontan. Di mana isi kepala langsung memberi tugas kepada tangan untuk menceritakan segala hal tanpa berpikir macam-macam. Saya kerap menuliskan sebagian mimpi yang saya ingat setelah terbangun. Barangkali ke depannya bisa berguna untuk suatu adegan dalam sebuah cerpen.

Jika ingin menulis sehabis bangun tidur seperti itu lagi, mungkin dalam waktu dekat saya bisa melakukannya. Saya cuma perlu berniat dengan sungguh-sungguh, tidur lebih awal, memasang alarm sebelum subuh, dan begitu terbangun saya akan langsung menyalakan laptop. Jadi, cukup mudah menuntaskan rasa kangen untuk hal yang pertama.

Persoalan kedua inilah yang bagi saya agak menyebalkan. Menulis untuk diri sendiri saja kadang sulitnya bukan main. Lantas, bagaimana dengan mengajak orang lain? Saya kemudian berpikir, mending ambil cara tergampangnya dulu dengan bilang kangen kepada mereka. Barulah setelah itu mengajak menulis bertema lagi. 

Terus, gimana caranya saya bilang kangen kepada mereka di grup WhatsApp? Terkadang, ngomong rindu kepada teman sendiri di teks seperti itu pun saya masih suka malu—atau mungkin gengsi? Saya akhirnya memikirkan berbagai cara supaya hasrat kangen ini cepat tersalurkan.

Dari mulai mengikuti petuah untuk jujur dan apa adanya saja dengan bilang, “Hai, teman-teman! Apa kabar? Saya rindu nih sama kalian”, tapi kok rasanya enggak banget. Kemudian mau sok-sok romantis bikin puisi, malah takut mereka nanya, “Itu maksudnya apaan ya, Yog? Gue kurang ngerti soal puisi”, ujung-ujungnya saya balik ke cara pertama. Setelah itu, kalau mau coba kirim pesan suara, tapi keadaannya saya lagi batuk. Takutnya pas ngomong suaranya jadi tidak jelas karena bengek dan terdengar aneh. Bukannya rindu itu tersampaikan, bisa-bisa saya justru disangka mau mati. 

Lalu, bagaimana menuntaskan kangen kepada mereka dengan cara yang tidak biasa? Enggak mungkin juga saya menyambangi mereka satu per satu ke rumahnya. Kalau bisa teleportasi atau punya pintu ke mana saja mah enggak akan jadi masalah (berimajinasi kok segitunya, sih?). Akhirnya, saya berniat bikin sebuah cerpen tentang persahabatan. Saya sudah ada gambaran cerita akan bergulir ke arah mana, serta gagasan apa yang mau saya utarakan. Lebih-lebih saya juga habis membaca novel Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya karangan Haruki Murakami. Novel itu kisahnya cukup relevan dengan grup kecil saya. Apalagi sama-sama lima orang; 3 laki-laki dan 2 perempuan. Pokoknya, persiapan saya untuk membuat cerpen itu sudah mantap betul. Saya tinggal menuliskannya.

Tololnya, cerita itu malah enggak kelar-kelar juga ketika sudah berjalan dua minggu. Sungguh ini bukan karena saya menunda-nunda dan malas. Saya tentu sudah menuliskannya, tapi entah kenapa selalu ada rasa kurang sreg ketika menyuntingnya. Saya bahkan sampai bikin tiga versi dari premis yang sama. Tapi tetap saja enggak ada satu pun yang cocok. Saking keselnya, semua cerpen itu saya hapus. Sedihnya, di folder Recycle Bin cerpen itu sudah lenyap ketika saya cek. Mungkin saya hapus secara pemanen dengan menekan tombol “Shift” dan “Del” secara bersamaan. Setelahnya saya langsung sadar, betapa gobloknya diri saya kala itu.

Mau tak mau, sudi enggak sudi, saya mesti merelakannya. Namun, saya telah kehilangan minat untuk bikin cerpen dari ulang. Saya juga sudah malas mencari cara lainnya. Alhasil, saya cuma bisa membatin, nanti aja kalau gitu bilang kangennya sambil maaf-maafan pas Lebaran.

Menunggu sekitar satu minggu itu cukup melelahkan dan menjengkelkan. Saya pun tau-tau kepikiran, bagaimana kalau rasa rindu itu akhirnya memudar? Hingga saya nggak lagi kepengin untuk bikin tulisan bertema bersama mereka? Oleh sebab itu, saya berusaha menjaga rasa kangen itu agar tidak hilang.

Saya mulai dari mengunjungi blog mereka satu per satu, setelahnya saya mengeklik label “WIRDY”, dan membaca setiap tulisannya. Begitu selesai, saya baca ulang tulisan saya sendiri tentang mereka. Mata saya mendadak panas dan sedikit keringat keluar dari sudut-sudutnya. Momen yang berengsek sekali untuk dikenang.

Singkat cerita, masjid-masjid di dekat rumah sudah mengumandangkan takbir. Besok sudah Idulfitri. Penantian untuk bilang kangen dan maaf ini akhirnya kelar juga. Saya pun tidur cepat, lalu terbangun menjelang waktu azan Subuh. Seusai Subuhan, saya enggak tahu harus melakukan apa sembari menunggu waktunya salat Id. Saat saya bersiap-siap mau mandi dan mengalungkan handuk, rupanya kamar mandi sudah diisi terlebih dahulu oleh ibu saya.

Saya akhirnya membuka laptop, lalu membuka Ms. Word. Niatnya, agar memenuhi janji kepada diri sendiri untuk menulis setelah bangun tidur pada pagi hari. Saya mulanya cuma ingin menulis singkat saja seraya menanti ibu saya selesai mandi. Tapi, tiba-tiba tangan saya malah mengetik tentang perasaan yang telah saya pendam selama ini kepada WIRDY.

Seusai membaca ulang dan mengedit tulisan tersebut, saya betul-betul enggak menyangka. Ternyata saya bisa memadukan kedua hal yang tengah saya rindukan itu ke dalam satu tulisan. Saya puas dan bahagia sekali. Janji (yang lazimnya sudah seperti utang) kepada diri sendiri untuk jujur, mau curhat lagi di blog, dan menulis pada pagi hari akhirnya dapat terpenuhi. Rasa rindu kepada mereka untuk bilang kangen pun sudah terbayar lunas. Walaupun belum kesampaian untuk bikin tulisan bertema bersama mereka lagi, paling enggak semoga saja dapat menumbuhkan semangat menulis mereka dan tergerak untuk meramaikan dunia blog lagi. Aamiin.

Inilah tulisan permintaan maaf saat Lebaran dari saya, mewakilkan grup WIRDY, buat kawan-kawan bloger: Selamat Lebaran dan Permintaan Maaf.

0 Comments:

Posting Komentar