Rabu, 28 Agustus 2019

Perihal Janji

Oleh Wulan.

--

Ngomongin janji, gue punya banyak janji yang hingga saat ini belum dilaksanakan. Alias janji palsu untuk diri sendiri. Sama diri sendiri aja gue sering janji palsu, enggak heran kalo gue sering dikasih janji palsu oleh laki-laki.

Oke, ini pembukaannya gini amat, anying. Mari kita lupakan masalah janji palsu dari lelaki. 

Awal masuk SMP, gue berjanji untuk tidak akan menghiasi masa-masa SMP dengan cinta monyet. Gue juga pernah ngomong di depan Ibu dengan penuh keyakinan bahwa gue tidak akan tergoda dengan seorang laki-laki yang kemungkinan akan mendekati gue. Sampai-sampai gue sudah mempersiapkan bagaimana cara untuk menolak cinta laki-laki. Gue sering ngomong sendiri di depan kaca, kayak begini: 

“Maaf ya, aku enggak bisa jadi pacarmu. Aku mau fokus sekolah aja,” gue mengucap itu dan langsung balik badan.

Atau, “Maaf ya, kita temenan aja. Aku lagi enggak mau pacaran.” 

Dan berbagai kalimat penolakan lainnya yang sering gue latih dan ucapkan di rumah. Karena gue yakin, bilamana gue ditembak oleh laki-laki, maka kalimat itu akan gue gunakan untuk menolaknya. 

Namun, itu semua hanyalah omong kosong ketika salah seorang laki-laki, siswa kelas lain menemui gue ketika pulang sekolah. Dengan embusan angin di sore hari yang cukup sejuk, juga beberapa helai poni gue yang mencuat keluar dari jilbab, laki-laki itu mengatakan cinta di hadapan gue. Gue kaku. Terdiam untuk beberapa saat. Ketika itu, jarak badannya dengan badan gue hanya dalam hitungan senti­meter. Terlalu dekat. Gue kaget, karena seumur-umur gue enggak pernah berhadapan langsung dengan laki-laki sedekat ini. Apalagi dalam situasi seperti ini. 



Sore itu, gue akhirnya melanggar janji yang gue bikin sendiri. Gue menerima pernyataan cinta dari lelaki itu. Dalam perjalanan pulang, hati gue kacau. Jantung gue berdebar-debar. Bukan grogi karena baru pertama kali punya pacar, melainkan sedih karena gue tidak bisa memegang janji gue sendiri. Ada rasa bersalah yang hadir di dalam hati gue ketika itu. Gue menyalahkan diri gue sendiri yang enggak bisa menjaga janji, padahal gue sendiri yang membuatnya. 


Naik ke kelas 2 SMP, gue pernah berjanji pada diri sendiri untuk kembali meraih tiga besar di kelas. Gue yakin bahwa gue pasti bisa mengalahkan beberapa pesaing hebat di kelas. Gue mulai belajar mati-matian, rajin men­dengarkan materi, dan rajin bikin PR. Sampai pada akhirnya, gue berada di suatu titik yang membuat gue tiba-tiba berpikir, “Buat apa gue belajar mati-matian dan dapet juara di kelas? Toh kalaupun gue juara, gue enggak bakalan ada di kelas favorit.” 

Pemindahan murid yang meraih tiga besar di kelas dan dimasukkan ke dalam kelas favorit sudah dilakukan setahun yang lalu, saat murid masih duduk di kelas 1 SMP. Dan itu hanya dilakukan sekali pada tiap angkatan murid. Jadi, buat gue yang udah duduk di kelas 2 SMP, ketika itu mendadak merasa hopeless. Gue udah terlambat untuk meraih posisi tiga besar di kelas. 

Mulai hari itu, gue mengabaikan janji yang gue buat dan yang sempat gue jalani. Mulai hari itu juga, gue bener-bener ngerasa enggak berguna ada di sekolah. Kerjaan gue cuma jajan, mencatat, ngerumpi, jajan, dan ulangi begitu lagi dari awal. Cuma itu. Kegiatan enggak berguna seperti itu berlanjut gue lakukan sampai gue lulus SMP.

Sejak awal masuk SMK, gue merasa bahwa umur gue bukan lagi dikategorikan dalam fase anak-anak. Ya, emang masih dalam label anak remaja juga, sih. Tapi, entah kenapa semenjak masuk SMK, gue ngerasa kalo gue sudah bisa mengikrarkan janji dan juga menepatinya. Sebenarnya ada rasa waswas ketika gue mem­buat sebuah janji atau sekadar mengecamkan suatu keharusan pada diri sendiri. Takut kalau sewaktu-waktu gue itu bakal kesulitan untuk melaksanakannya. Tapi, sebisa mungkin gue selalu meyakin­kan diri sendiri bahwa gue bisa berjanji dan menepati janji. 

Di awal SMK, gue pernah berjanji untuk tidak akan jatuh cinta pada siapa pun. Karena kalo dipikir-pikir, jatuh cinta, kemudian pacaran antar sesama anak sekolahan, itu hanya akan mengganggu fokus gue di sekolah. Jadi, selama MOS, gue yakin dan memantapkan hati bahwa gue tidak akan berpacaran selama tiga tahun ke depan di sekolah ini. 

Selesai MOS, besok harinya masuk kelas, gue malah ditembak. Mana yang nembak cowok ganteng pula. Ya, siapa yang nolak? 

Gue melanggar janji yang telah gue buat sendiri. 

Pernah suatu hari, gue dan beberapa teman berencana untuk bolos sekolah dan pergi ke suatu tempat wisata. Jarak dari rumah gue ke daerah wisata itu sepertinya memakan waktu 3 jam untuk pergi dan 3 jam untuk pulang. Total keseluruhannya 6 jam. Ada sekitar belasan anak yang ikut. Masing-masing anak sudah memiliki tugasnya sendiri-sendiri. Ada yang bertugas untuk menyiapkan camilan, makanan berat, ada yang bertugas untuk membawa minuman, ada yang bertugas untuk membawa kamera DSLR, ada yang bertugas untuk membawa jerigen bensin, dan tugas-tugas lainnya. 

Fatal, saking excited-nya gue berangkat dari rumah menuju sekolah jam setengah 6 pagi. Btw, kita memang janjian ngumpul di sekolah. Lebih tepatnya di belakang sekolah. Dan Ibu gue, ternyata menaruh curiga saat melihat gue pamit berangkat sekolah sepagi itu. Ya iyalah anjir, ya kali ada murid yang berangkat sekolah jam setengah 6. 

Singkat cerita, rencana indah yang kami bangun bersama gagal seketika. Gue disuruh pulang ke rumah dan dimarahi oleh Ibu. Saat itu juga, gue berjanji di hadapan Ibu untuk tidak berbohong dan tidak akan pergi jauh-jauh tanpa seizin darinya. 

Naik ke kelas 2 SMK, gue melanggar janji itu. Gue bahkan semakin menjadi-jadi untuk pergi ke daerah mana pun berbekal motor dan nekat yang besar. Sekali, dua kali, semuanya masih aman. Setiap kali gue berada dalam perjalanan jauh bersama teman-teman sekolah yang tentunya telah membohongi Ibu terlebih dahulu, gue selalu merasa bersalah. Gue enggak pantas berjanji di hadapan Ibu ketika itu. Gue enggak pantas untuk memegang janji. Namun, semua pikiran dan perasaan bersalah itu hilang ketika gue sampai di lokasi wisata yang gue tuju. Anjis memang. 


Setelah lulus sekolah dan alhamdulillah mendapat pekerjaan, gue mulai mengubah cara bagaimana mengatur pola hidup gue sendiri. Gue banyak sekali membuat beberapa janji dengan tujuan untuk mengubah gue menjadi sosok Wulan yang lebih baik. Mulai dari janji untuk menabung dan menyisihkan sebagian gaji yang gue terima setiap bulan, janji untuk bersikap menjadi lebih dewasa, janji untuk lebih terbuka dengan keluarga, janji untuk tidak lagi meminta uang kepada orang tua sekalipun keuangan sedang sekarat di akhir bulan, janji untuk bisa berkuliah sebelum memasuki umur 23 tahun, dan banyak sekali janji lainnya yang gue buat. 

Alhamdulillah, sedikit demi sedikit gue bisa menepati janji itu. Alhamdulillah lagi gue bisa merasakan bagaimana duduk di bangku kuliah di umur gue yang masih menginjak 19 tahun ketika itu. Gue juga bisa menepati janji gue untuk keluar dari zona introvert dan mulai mencoba terbuka dengan orang terdekat gue. 

Tahun 2014 lalu, gue mulai aktif ngeblog. Bagi gue, semua tulisan di blog adalah momen-momen penting yang enggak akan gue lupain sampai kapan pun. Gue pernah janji dan bertekad kepada diri gue sendiri untuk terus menulis di blog dari masih lajang seperti saat ini, sampai gue akan menikah, punya anak, bahkan sampai tua pun gue bakalan nulis di blog. 

Intinya, bagi gue blog akan mencatat dan merekam kisah perjalanan hidup gue. Tapi apaan? Sampai saat ini gue malah masih mood-mood-an nulis di blog. Pas kebelet nulis, eh waktunya enggak memadai. Pas banyak ide, eh banyak kerjaan. Pas banyak waktu luang, gue membatin, Yah ilah, mau nulis apaan nih di blog? 

Ya seperti itu. 

Jujur, gue sendiri masih belum bisa menepati janji. Karena itu, gue enggak berani untuk memberi janji kepada orang lain. Wong janji ke diri sendiri aja masih sering gue langgar. Karena itu pula, mulai hari ini gue bakalan berjanji untuk selalu menepati janji. Semoga saja itu bukan wacana. Aamiin.

--

Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/love-locks-metal-love-love-symbol-4062562/

0 Comments:

Posting Komentar