Kamis, 29 Agustus 2019

Omong Kosong yang Manis

Oleh Yoga. 

--

“Pokoknya habis Zuhur udah pada sampai lokasi, ya? Sekitar pukul satu deh setelat-telatnya.”

“Pukul satu? Oke, gue janji enggak akan telat!”


Apakah kamu tidak asing dengan kalimat yang biasanya terucap saat janjian barusan? Kalau sesuai pengalaman gue, janji seperti itu hampir enggak pernah ditepati. Entah ada yang telat 15 menit; ada yang mengira pukul 1 baru jalan dari rumah; bahkan ada yang bilang, “Gue udah otw nih”, padahal baru bangun tidur, beranjak dari kasur, dan buru-buru lari ke kamar mandi. 

Biadab memang teman seperti itu. Enggak perlu jauh-jauh, gue sendiri pun pernah (sering juga mungkin) melakukan hal itu. Namun, sejak mendengar perkataan Pandji Pragiwaksono, “Bukannya enggak mau nungguin yang telat, tapi gue mau menghargai yang datang tepat waktu”, gue mulai merenung dan berusaha berjanji kepada diri sendiri untuk tidak lagi mengaret. Semoga saja janji itu tidak gue langgar, kecuali ada hal-hal yang di luar kendali gue.

Manusia bisa berencana, tapi tetap Tuhan yang menentukan. Misalnya, gue sudah berangkat lebih awal dan dipastikan sampai sana tepat waktu, atau mungkin bisa datang lebih cepat. Sayangnya, di perjalanan ada gangguan. Entah itu ban motor bocor, ada perbaikan jalan sehingga macet total, kecelakaan (amit-amit, jangan sampai deh), atau si Komo lewat. Setidaknya, janji seperti itu gue ingkari dengan tidak sengaja. Bukan gue yang menjadi penyebabnya. Bukan berasal dari kelalaian gue. 

Berbicara soal janji, mungkin kita udah terlalu sering mengingkarinya. Lebih parahnya, kita sampai enggak bisa hitung saking banyaknya. Kalau dianalogikan, janji yang belum kita tepati maupun yang diingkari itu sejumlah pori-pori di tubuh kita (dibaca: banyak banget, Nyet!) 

Di antara banyaknya cerita tentang pengingkaran janji itu, ada satu kisah tentang janji yang membawa gue ke sebuah kisah tentang hubungan bersama pacar—yang kini tentu telah menjadi mantan.



Janji untuk terus bersama pacar sampai nanti menikah, padahal statusnya masih anak sekolahan, adalah janji terbodoh yang pernah gue dengar. Ada yang pernah berjanji seperti itu? Gue sendiri pernah. Mungkin di saat itu, gue percaya sekaligus bahagia saat mengucap dan men­dengar janji manis tersebut. Namun, setelah berulang kali dibohongi dan dibodohi pacar gue, maka gue mulai tersadar dan mentertawakan hal itu. 

Sewaktu SMK, gue pernah sama-sama berjanji untuk terus bersama pacar sampai tua-renta. Namanya juga anak remaja. Ketika hati lagi berbunga-bunga, membayang­kan masa depan yang indah dan berjanji untuk terus bersama bukanlah hal yang aneh.

Dulu, kami juga pernah berjanji kalau sudah lulus sekolah nanti tidak perlu bekerja. Kami berdua ingin membuka usaha saja dan menjalankan bisnis itu bersama. Merintis usaha dari awal dan kelak uangnya bisa kami gunakan untuk menikah, membeli rumah berikut hal lainnya, lalu kami bisa hidup berdua di dalam kesederhanaan. Indah sekali, bukan? 

Sayangnya, begitu sudah lulus kami malah masuk ke dunia kerja. Semua hal yang kami impikan itu memudar. Menjadi pengusaha itu susah. Butuh modal. Mesti tahan banting. Hidup rasanya harus benar-benar realistis. Sehingga kami berdua pun menjadi karyawan. Gue bekerja di bidang perpajakan sebagai admin penginput data. Lalu, si pacar menjadi kasir di sebuah toko roti. 

Komunikasi gue sama pacar tentu saja terganggu. Gue masuk pagi kemudian pulang sore, sedangkan dia kerjanya dengan sistem sif dan lebih sering mendapatkan jadwal yang masuk siang dan pulangnya malam. Entah kenapa, lantaran pertemuan dan komunikasi yang kurang lancar itu, kami jadi sering bertengkar. 

Awalnya, gue masih berpikir kalau dia memang fokus sama pekerjaannya. Terus dia mungkin kecapekan, makanya jadi sering marah-marah dan jarang membalas SMS gue. Sedihnya, ketika suatu hari kami sedang makan bersama di sebuah warung steak, dia malah fokus mainan ponsel melulu. Mestinya kan dia memilih ngobrolin berbagai hal sama gue sebab kami jarang berjumpa. Lah, ini malah sibuk sendiri sama gadget, bukannya menikmati waktu berkualitas sama gue. Melihat kelakuannya yang tidak beres itu, gue mulai mencium bau-bau sebuah kebohongan dan pengkhianatan. 

Gue jadi teringat beberapa minggu yang lalu. Pada saat dia menyuruh gue untuk menjemputnya ketika pulang malam sekalian nanti kencan. Sore itu gue janjian sama pacar untuk ketemuan nanti malam sambil mencicipi nasi goreng pinggiran jalan—yang kata beberapa teman gue rasanya enak dan maknyus.

Begitu sudah pukul 8 malam, satu setengah jam sebelum dia pulang kerja, dia mendadak membatalkannya. Katanya sih takut gue kecapekan dan biar bapaknya saja yang menjemput. Itu jelas aneh banget. Gue tahu betul, dia sedang berbohong. Gue harus mencari tahu kebenarannya. Gue pun tetap menjemputnya malam itu. 

Sesampainya di sana, gue berusaha membuat kejutan dengan membeli dua buah roti. Dia terkejut ketika melayani seorang pelanggan yang mana adalah pacarnya sendiri. Temannya—yang juga seorang kasir—bertanya kepadanya, “Kenapa deh muka lu mendadak cemberut gitu?” 

Dia hanya menggeleng. Temannya itu pun mulai memperhatikan gue. Gue sendiri pura-pura enggak kenal. Setelah itu, gue keliling mal seraya menghabiskan roti. Lagi asyik-asyiknya menikmati roti, tiba-tiba ponsel gue bergetar. Gue mengecek ada sebuah SMS. Ternyata dari dia. 

Gue tersenyum dan berpikir kalau dia pasti lagi kegirangan mendapatkan kejutan itu. Tapi, begitu gue buka, ternyata isinya kata-kata kasar. Dia marah-marah atas kelakuan gue barusan. Dia juga menyuruh gue pulang. Gue enggak mengerti kenapa jadinya malah begini. 

Namun, gue tetap ngotot dan enggak mau balik ke rumah. Gue sudah memilih untuk mengantar­kan dia pulang, lalu dinner. Gue masih berharap rencana sore tadi itu enggak batal. Setelah menunggu lama (ya, tentu saja yang namanya menunggu itu enggak enak dan terasa lama), akhirnya kerjaan dia pun kelar. Gue segera menghampiri dan menyapanya, tapi dia memilih untuk membungkam mulutnya. Dia ngambek. Gue pun kebingungan kayak orang dongo. 

Karena enggak enak diam-diaman begitu, di jalan menuju parkiran motor gue bertanya kepada­nya, “Emangnya bokap kamu udah di jalan mau jemput, Yang? Apa gimana, sih? Kok jutek gitu?” 

“Auk, ah.” 

“Aku salah apa, sih? Maaf.” 

“Bawel dah lu! Udah, ayo pulang!” ujar dia semakin sewot. 

Malam itu adalah malam terburuk selama gue pacaran sama dia. Baru kali ini, dia naik motor jaraknya jauh-jauhan sama gue. Seolah-olah dia merasa terpaksa membonceng. Itu di tengah-tengah kalau gue taruh cabe-cabean mungkin masih muat. 

Lalu, begitu gue membelokkan motor ke arah kiri, ke tempat penjual nasi goreng, ia malah meminta untuk langsung diantar ke rumah. Kami batal mencicipi nasi goreng yang konon rasanya mantap itu. Lagian, kalaupun jadi makan, gue yakin rasa nasi gorengnya pasti hambar. Percis kondisi hubungan kami berdua malam itu.


Memori pahit akan sikapnya yang aneh pada malam terkutuk itu, membuat gue menyimpulkan bahwa sekarang ini dia mungkin sedang SMS-an sama cowok lain. Gue pun semakin mencuri­gainya. Feeling gue mengatakan kalau dia... (ehem) selingkuh. Tapi, biar bagaimanapun gue berusaha stay cool di depannya. Gue memilih diam saja mencoba terlihat tidak curiga. Bagusnya, dia sempat izin ke toilet dan ponselnya malah tertinggal di meja. 

Inilah momen yang gue tunggu-tunggu. Gue segera meraih ponsel Nokia C2 yang tergeletak di atas meja. Gue langsung membuka kunci, lalu memilih menu SMS. Gue baca satu per satu kotak masuknya, tapi enggak ada yang mencurigakan. Bahkan, tidak ada SMS apa-apa di jam-jam terakhir. 

Apa itu kotak masuk sudah dihapus olehnya? Hm, mungkin aja feeling gue yang salah. 

Gue kembali menaruh ponsel itu ke meja dan mencoba berpikiran positif. Seketika itu pula, ponselnya bergetar. Gue melihat ada SMS masuk dari Joko. Gue baca pesan itu baik-baik. Romantis dan sayang-sayangan. Lalu, barulah gue kepikiran untuk membaca pesan terkirim. Dan ternyata, dia lupa menghapusnya. Maka, terbuktilah semuanya. Gue diselingkuhin sama si pacar. Belakangan diketahui, Joko adalah supervisor di kantornya.

Gue lantas bertanya-tanya, janji yang telah kami buat untuk terus bersama sampai nikah mana? Kalau baru pacaran satu tahunan aja, dia sudah berani mengkhianati gue begini. Berengsek! 

Singkat cerita, gue langsung marah-marah karena enggak terima kenapa dia bisa tega menyelingkuhi gue. Apa sih salah gue sampai dia berbuat keji seperti itu? Akhirnya, gue putusin dia saat itu juga seusai makan. Gue juga menyuruhnya naik angkot. Gue entah kenapa sudah terlalu malas mengatarkan dia pulang. Alias gue malu karena pengin nangis. Iya, serius. Sesampainya di rumah gue pun nangis. Inilah patah hati terdahsyat gue selama 17 tahun hidup di dunia. Pertama kalinya diselingkuhin ternyata perih dan pedihnya bukan main. Hati gue lecet-lecet. Pacar yang selama ini telah gue sayangi dan gue berikan kepercayaan satu tahun lebih lamanya justru berkhianat. Rasanya benar-benar tersiksa. 


Tiga minggu berikutnya, dia mengontak gue. Dia meminta maaf atas kesalahannya dan mengajak gue balikan. Dia juga bilang kalau sudah pindah kantor demi gue. Jujur, gue masih benci sama kelakuan dia kemarinan itu. Gue masih takut hal itu bakal terulang kembali. Tapi, gue juga enggak bisa membohongi diri sendiri kalau masih sayang sama dia. Gue juga kangen banget sama dia. Awalnya, gue coba buat jual mahal, tapi dia terus menggoda gue. Dia pun mengingatkan gue tentang janji di masa SMK untuk terus bersama sampai renta. Janji yang membuat gue kalah telak. Maka, besoknya kami kembali bersama dan mulai bertukar cerita lagi. 

Sekitar tiga bulan menjalani hubungan itu, gue merasa ada yang salah sama hubungan kami. Gue mulai enggak nyaman dengan keber­samaan ini. Gue merasa rasa sayang gue ke dia sepertinya mulai berkurang. Gue juga berpikir, kalau dia juga berkurang rasa sayangnya ke gue. Mungkin betul seperti analogi orang-orang, bahwa gelas yang sudah pecah kemudian direkatkan ulang, pasti enggak akan nyaman lagi buat dipakai minum. Yang ada bibir kita bakal berdarah-darah. 

Terkadang, gue malah curiga dia diam-diam selingkuh lagi. Apalagi mengingat kami sudah berganti ponsel menjadi BlackBerry. Godaannya jelas bertambah berat. Dia akan semakin mudah komunikasi dengan cowok-cowok lain. Selain itu, kondisinya kami berdua sama-sama semakin sibuk. Ya, meskipun jadwal masuk kantor kami saat itu sudah barengan. Masuk pagi dan pulang sore. Namun, rasa lelah akan pekerjaan membatasi pertemuan kami. Kami enggak bisa untuk sering jalan sekadar makan bareng atau nonton seperti masa sekolah dulu.

Akhirnya, kecurigaan itu ada benarnya. Gue mendapatkan jawaban dari teman sekelasnya sewaktu SMK, sebut saja namanya Putri. Putri mengatakan dirinya yang enggak tega kalau gue dibohongi terus-terusan. Rupanya, dugaan gue benar kalau si pacar selingkuh lagi. Putri mengatakan kalau status di BBM yang merupakan simbol love dan ada huruf “Y”-nya itu bukanlah buat gue. Itu buat cowok lain yang inisialnya juga “Y”. Dia adalah Yunus. Seorang cowok yang membuat pacar gue nekat selingkuh lagi dan bikin hati gue jadi tetanus. 

Perselingkuhan jahanam telah terjadi dua kali dalam hidup gue. Bahkan oleh pacar yang sama. Miris. Gue hanya bisa mendoakan semoga rasa sakit hati gue ini bisa mereka (mantan pacar dan selingkuhannya) rasakan juga. 

Tak lama setelahnya, si pacar ditinggal oleh Yunus—yang ternyata sudah punya kekasih. Lalu, Yunus juga men­dapatkan balasan yang lebih parah; hubungan dia dengan kekasihnya tidak direstui. Lalu, kekasihnya malah dijodohkan oleh pria lain. Pengingkaran janji itu akhirnya mendapatkan balasan. 

Karma does exist

Baru kali inilah gue putus cinta dan malah merasa puas banget. Apalagi bisa menyaksikan sebuah karma. Gue pikir karma itu cuma lagu dari band Cokelat. Ternyata karma itu betulan nyata. Atau istilah lainnya: hukum alam. Ketika kita berbuat sesuatu yang buruk, suatu hari pasti akan mendapatkan balasannya. Entah itu di dunia atau di akhirat. Begitu pun jika kita melakukan suatu kebaikan. Semua pasti ada imbalannya. 

Setelah pacar gue itu selingkuh dua kali, gue tentu tidak mau lagi memberinya kesempatan ketiga. Sudah cukup. Sekali saja sakit, ini gue malah me­rasakannya dua kali. Untuk ketiga kalinya? Oh, tentu saja tidak boleh. Kayak minum obat atau wudu aja segala tiga kali.

Namun, gue masih ingat jelas akan hari itu. Hari di mana dia datang menjemput gue untuk mengajak balikan. Dia begitu gigih mencoba mendapatkan kesempatan ketiga.

Pada suatu malam Minggu, sekitar pukul delapan, si mantan terus-menerus mengontak gue di BBM. Berulang kali ponsel gue bergetar karena banyaknya “PING!!!” yang masuk. Sebab pesan itu hanya gue baca, dia akhirnya menelepon gue. Awalnya gue tolak, lalu enggak berapa lama dia mengirim SMS.

Please angkat. Gue cuma mau ngomong.” 

Jujur, gue udah muak banget sama teror dia belakangan ini. Dari mulai BBM atau menelepon gue setiap hari, terus juga sampai SMS Nyokap, tanya-tanya ukuran sepatunya berapa sok pengin memberikan kado. Iblis emang. Bisa-bisanya mencoba meluluhkan hati Nyokap, biar nanti bisa menyuruh gue balikan. Lebih parahnya sih kemarin malam. Dia mengirimkan gue dua buah foto. Yang satu berupa kertas yang bertuliskan kata maaf dengan tetesan darah, satunya lagi tangan dia yang disilet. Sumpah, itu udah kelewatan banget. Dia mulai sinting.

Karena takut dia melakukan hal yang lebih gila, maka gue segera membalasnya, “Oke.” 

Telepon kembali masuk, kali ini gue terpaksa mengangkatnya karena sudah mengatakan oke di SMS. Begitu telepon gue angkat, tiba-tiba terdengar isak tangis di seberang sana. 

“Lu kenapa nangis?” tanya gue. 

Suaranya enggak begitu terdengar jelas karena bercampur dengan tangisan. Tapi, gue tahu dia bilang apa. Dia bilang, kalau dirinya sudah menunggu gue sekitar satu jam yang lalu di dekat rumah. Dia cuma pengin minta ketemuan, terus mengobrol sebentar. Maka, gue pun jalan kaki ke tempat yang dia maksud. Dari kejauhan terlihat seorang cewek memakai kaos putih sedang duduk di motor Honda Beat warna merah. Iya, dia mantan gue. 

Begitu sudah di dekatnya, gue melihat jelas matanya yang sembab itu. Lalu, dia menyuruh gue menaiki motornya dan bilang cuma pengin berbicara agak lama. Tadinya, gue udah mau balik lagi ke rumah karena janji gue cuma untuk mene­muinya dan sudah ngobrol ala kadarnya. Tapi, entah kenapa ada rasa enggak tega di dalam diri gue ketika dia memohon masih mau mengobrol lebih lama. Akhirnya, kami berdua mencari tempat yang pas untuk mengobrol. 

Sepuluh menit kemudian, kami berdua sudah duduk di Taman Kemanggisan di dekat kampus Binus Syahdan, Jakarta Barat. 

“Yog,” kata dia pelan membuka per­cakapan. “Please ya, balikan sama gue.” 

Gue hanya bergeming. Enggak percaya kalau dia langsung menjurus ke sana. 

“Yog?” panggilnya lagi. 

Gue hanya bisa menoleh, lalu menunduk kembali. 

Please, ngomong, jangan diem aja kenapa.” 

Jujur, gue sudah memaafkan dan tidak membencinya. Gue juga sudah puas menyaksi­kan karma yang dia terima. Sekarang ini badan dia berubah kurus banget, padahal tadinya cukup montok. Dia sepertinya banyak pikiran dan depresi karena perbuatan selingkuhnya itu juga dibalas oleh selingkuh. Namun, gue juga enggak tahu harus ngomong apa ketika dia me­mohon seperti itu. 

Gue melihat jelas dari matanya kalau dia benar-benar sudah menyesali perbuatannya. Tapi, gue enggak mau lagi buat balikan. Gue tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Karena diselingkuhin dua kali itu enggak enak banget. Sekali aja rasanya pasti sakit. Apalagi dua kali? Terus, ini mantan gue masih berusaha mengajak balikan lagi. Dipikir hati gue apaan? Mainan dari hadiah ciki? Yang kalau rusak bisa dengan mu­dahnya dia dapatkan lagi karena harganya cuma seribu? 

“Yog, please balikan,” ujar dia sambil me­me­luk gue. 

“Gue enggak bisa,” jawab gue jujur, lalu berusaha melepaskan pelukannya. 

Dia kemudian memeluk gue lagi, kali ini lebih erat. Kepalanya dibenamkan di bahu gue. Gue merasakan kaos hitam yang gue kenakan ini tiba-tiba basah. Ternyata dia sedang menangis tanpa bersuara. Tak lama setelah itu, dia melepas pelukannya dan bercerita tentang masa indah dulu semasa kami pacaran dan berulang kali membujuk gue agar mau balikan. Sayang­nya, jawaban gue tetap sama: gue enggak bisa. 

Tadinya gue udah capek dan mau pulang, sebab muak mendengar kalimatnya itu yang keras kepala untuk mengajak balikan. Namun, tiba-tiba dia mulai mengingatkan gue mengenai sebuah kenangan. Dia bercerita awal pertama kami jadian. Dia juga bercerita bagaimana gue yang pernah memberikan kejutan pada hari ulang tahunnya itu. Gue membawakan sebuah guling berbentuk Mickey Mouse berukuran besar, yang demi bisa membelinya gue harus rela menabung uang saku sekolah selama tiga minggu.

Tentu, gue masih ingat jelas momen manis itu. Gue pun enggak jadi pulang dan malah ter­senyum. Gue mencoba untuk mendengarkannya berbicara. Sampai akhirnya dia bilang, “Lu masih inget kan, Yog? Janji kita untuk terus bersama sampai tua? Lu juga inget, kan, kalau setiap kali salah satu dari kita minta putus, kita harus bisa balikin ludah yang udah kita telan?” 

Gue cengengesan mendengar janji bodoh itu. Kami berdua pun malah tertawa bersama. Iya, dulu kami emang sempat beradu lidah dan bertukar ludah. Itu adalah pertama kalinya buat gue. Dan dia adalah cewek pertama yang ngajak gue ciuman. Agresif banget, bukan? 

Akhirnya, gue tatap wajahnya dalam-dalam, gue mencoba untuk jujur akan perasaan ini. 

“Kita enggak bisa sama-sama lagi. Tolong, hargai juga keputusan gue ini.” 

“Tapi gue udah berubah, Yog. Gue udah sadar, ternyata begini rasanya diselingkuhin.” 

Gue menggelengkan kepala. 

“Sekali lagi aja, Yog. Please, kasih gue kesempatan,” rengeknya, embun mengalir di matanya dan jatuh ke pipi. 

“Maaf, gue tetep enggak bisa.” 

“Setelah sakit diselingkuhin, sekarang gue juga paham gimana sakitnya ditolak ketika udah ngemis-ngemis mengajak balikan. Maaf ya, kalau gue sering nyakitin lu.” 

Dia terdiam lama. Hujan turun semakin deras dari sudut matanya. Napasnya pun sampai tersengal-sengal. Tanda kalau dia benar-benar menangis dari hati. Tangisan akan sebuah penyesalan. Gue enggak tahu saat itu harus berbuat apa. Melihat cewek menangis seperti itu kadang membuat cowok menjadi goblok. Gue pun refleks memeluknya. Mencoba membuatnya tenang. 

Sesudah tangisnya berhenti dan kaos gue semakin lepek karena air mata, ia kemudian melepas pelukan gue. 

“Ya udah, kalau lu enggak mau balikan,” kata dia, nadanya terdengar pasrah. “Tapi, please turutin permintaan terakhir gue, ya. Sehabis ini, gue janji enggak akan ganggu lu lagi. Gue bakal ikhlasin lu.” 

“Iya, gue turutin. Apa permintaan lu?” 

Anjir. Bangsat. Bajingan. Bedebah. Gue benar-benar telah dibuat bego olehnya. Bisa-bisanya langsung bilang iya bakal menuruti per­mintaannya. Astagfirullah. Semoga permintaan­nya itu enggak aneh-aneh. Gue takut kalau dia tiba-tiba meminta gue enggak boleh pacaran dulu sampai dia memperoleh pacar baru. Atau lebih parahnya, enggak apa kalau gue enggak mau balikan dan boleh pacaran sama siapa aja saat ini, asalkan nanti nikahnya sama dia. Atau yang lebih sadis, gue harus sunat lagi. Tidaaak! 

“Tolong anterin gue pulang sampai rumah.” 

Hah? Gitu doang? 

Sialan! Ketakutan di dalam pikiran gue itu kejauhan ternyata. Imajinasi gue terlalu liar. Lalu, dengan penuh rasa semangat dan mem­bayangkan hidup gue enggak akan ada gangguan lagi darinya, gue langsung meng-iya-kannya sebelum dia berubah pikiran akan permintaan terakhirnya itu. 


Malam itu, gue betulan mengantarkan dia pulang. Ya, bodoh memang. Gue mengantarkan dia ke rumahnya menggunakan motor, setelah itu gue harus balik lagi ke rumah naik angkot. Entah kenapa gue mau-maunya menuruti permintaan terakhir dari mantan gue itu. Gue cuma enggak mau aja kalau nanti dia pulang dengan tidak selamat. Misalnya, menabrakan diri ke mobil atau truk selama di jalan pulang. 

Apalagi gue itu orang yang dia temui terakhir kali. Gue takut nanti gue yang diwawancarai oleh polisi atas kecelakaan tersebut. Gue pun masuk berita. Nah, biasanya berita di koran dan televisi itu suka banget memutarbalikkan fakta. Gue enggak mau jika itu sampai terjadi. 

Fakta: Seorang gadis berusia 17 tahun bunuh diri dengan menabrakkan motornya ke sebuah truk karena mantannya tidak mau diajak balikan. 

Yang muncul di berita: Seorang gadis berusia 17 tahun bunuh diri dengan menabrak­kan motornya ke sebuah truk karena mantannya tidak mau bertanggung jawab atas hilangnya keperawanan dan kehamilannya. 

Astagfirullah. Khayalan gila macam apa itu. Boro-boro menghilangkan keperawanan, ngilangin tupperware Nyokap aja takutnya bukan main. 

Gue sudah mengantarkan dan memastikan dia selamat sampai rumah. Lalu begitu duduk di angkot, ada BBM panjang darinya. Pertama, dia ingin berterima kasih karena permintaannya dipenuhi; kedua, dia menyuruh gue untuk segera cari pacar yang baik sekaligus cantik agar dia bisa cepat move on dari gue; ketiga, dia berjanji kepada gue untuk enggak selingkuh lagi ketika punya pacar baru. 

Gue jadi teringat kejadian barusan sebelum mengantarkan dia pulang. Di taman itu, gue meminta kepadanya supaya enggak selingkuh lagi sama pacarnya kelak. Gue bilang, “Cukup gue aja yang lu selingkuhin. Sampai dua kali pula. Tolong, jangan pernah mengulangi per­buatan bangsat itu, ya. Setiap kali lu mencoba buat selingkuh, ingatlah malam ini. Saat lu menyesal dari hati yang terdalam.” 

Tiba-tiba gue menangis di angkot ketika mengingat kejadian itu. Menangisi sebuah janji di perpisahan terakhir hubungan kami. Syukur­nya, di dalam angkot itu hanya ada gue dan supir. Gue enggak bisa bayangin jika di angkot itu ada penumpang lain. Yang bisa saja berpikiran kalau ada seorang remaja menye-menye yang me­nangis di angkot karena diputusin pacarnya lewat SMS. Terus, mereka berusaha menghibur gue dengan bilang, “Mohon. Mohon bersabar. Ini ujian. Mohon bersabar ini ujian. Ujian dari Allah. Ini perjuangan. Mohon ditahan emosi. Memang mengecewakan.” 


Setelah malam panjang itu, dia benar-benar tidak pernah mengganggu kehidupan gue lagi. Kalau tidak salah, sehabis putus dari gue dia cuma pacaran sekali dan bertahan sampai sekarang. Gue sendiri malah sudah berulang kali ganti pacar. Itu rasanya sebuah bukti kalau dia benar-benar menepati janjinya dan sudah bahagia sama pacarnya yang sekarang. 

Gue merasa cukup bersyukur memiliki pengalaman pahit seperti itu. Berkat dia, gue jadi belajar banyak perihal kehilangan dan bertambah dewasa. Gue jadi belajar untuk enggak asal berjanji kepada pacar. Bersama dialah janji terberat dalam hidup yang pernah gue langgar. Janji untuk terus bersama pacar sampai tua yang akhirnya dia ingkari sendiri. Yang secara tidak langsung juga gue ingkari karena enggak mau diajak balikan. 

Sampai saat ini gue enggak pernah lagi menjanjikan pacar gue yang macam-macam. Apalagi janji untuk menikah dan hidup berdua sampai tua. Gue enggak mau mengulangi kesalahan yang sama. Janji itu sama aja kayak utang. Gue enggak pengin asal berjanji yang belum tentu bisa gue tepati. Mungkin lebih baik gue menunjukkannya dengan tindakan. Bukan hanya besar di omongan. Sebab memilih untuk hidup bersama, nyatanya enggak sesimpel itu. Rasa sayang aja ternyata enggak cukup. Harus ada komitmen yang kuat. 

Lucunya, gue masih sering asal berjanji tentang hal-hal yang lain. Seperti di kalimat pembuka tulisan ini. Janji untuk datang tepat waktu, tapi nyatanya masih suka terlambat. Banyak janji-janji yang rasanya mudah terucap begitu saja, tanpa adanya sebuah hasrat untuk bisa menepatinya. 

Gue sudah keseringan berjanji untuk tidak lagi tidur larut atau begadang. Gue juga kerap berjanji untuk mengatur waktu agar lebih produktif dalam setiap harinya. Gue janji untuk tidak lagi menunda-nunda waktu untuk salat wajib, kecuali sedang dalam perjalanan atau hal-hal lainnya yang memang harus terpaksa menunda salat. 

Namun, kenyataan berkata lain. Gue masih sering begadang. Gue masih enggak ngerti kenapa pola tidur jadi begini amat. Siang jadi malam. Malam jadi siang. Gue benar-benar mulai mirip kelelawar. Kemudian, gue malah suka merasa kalau waktu dalam sehari itu sangatlah kurang. Rasanya 24 jam terlalu singkat. Gue dalam sehari hanya membuang-buang waktu yang entah untuk apa, giliran malam harinya barulah dipakai buat membaca buku atau menulis sampai sekitar pukul 3 pagi. Gue bahkan baru bisa tidur sehabis Subuhan karena takut ketiduran dan meninggalkan salat Subuh. Meskipun sejujurnya, gue juga pasti pernah beberapa kali ketiduran dan akhirnya ninggalin salat Subuh. Janji untuk tidak menunda-nunda salat ternyata lebih parah. Gue justru melalaikan salat lima waktu. 

Gue benci sekali sama diri gue yang cuma bisa asal berjanji itu. Apalagi janji buat enggak nonton bokep lagi. Oke, gue enggak mau munafik. Susah sekali menghilangkan kebiasaan tolol itu. Biar kata film terlarang itu telah gue hapus dari laptop, tapi tetap aja ketika menginap di indekos seorang kawan dan meminjam laptopnya, gue bakal dijejali video nista itu. Atau, ada saja keinginan bodoh untuk streaming

Menyedihkan. 

Lalu, gue juga pernah berjanji kalau tahun 2017 ini untuk mengurangi lelucon atau cerita yang menyerempet mesum. Bodohnya, di tulisan ini akan ada sebagian cerita seperti itu. Bakal ada cerita yang membahas ciuman dan terdapat kata “bokep” di tulisan ini. Gue terpaksa menuliskan itu karena mungkin ada yang merasa relevan. Terutama yang cowok-cowok. Tapi, ke depannya gue berusaha berjanji kepada diri sendiri untuk tidak keseringan memakai bumbu komedi ataupun alur cerita yang menjurus mesum. Gue juga berusaha untuk tidak asal berjanji dan segera melunasi utang-utang yang pernah gue ucapkan itu.

Begitulah janji. Sebuah omong kosong yang manis. Manis ketika mengucapkannya, dan pahit saat menyesal karena telah mengingkarinya.  Gue jadi teringat akan kutipan Ali bin Abi Thalib, “Jangan membuat keputusan ketika sedang marah. Jangan membuat janji ketika sedang gembira.” 

Lalu, dari sekian banyak janji itu, gue saat ini sedang berusaha menepati janji untuk menyelesaikan apa yang sudah gue mulai. Sebuah proyek bersama WIRDY untuk membuat karya. Maka, ketika tulisan berbentuk buku digital ini sampai ke folder laptop, komputer, atau ponsel kalian, berarti satu tanda centang dari daftar janji-janji gue itu telah berhasil gue capai. Satu janji sudah gue tepati. Satu utang telah gue lunasi.

--

Gambar berasal dari: https://pixabay.com/photos/clown-creepy-grinning-facepaint-630883/

0 Comments:

Posting Komentar