Kamis, 29 Agustus 2019

Tentang Janji dan Pengingkarannya

Oleh Robby.

--

Gue memiliki sedikit pandangan mengenai hobi. Menurut gue, seseorang yang menekuni hobi tertentu, baru bisa bertahan dengan hobinya sekitar tiga bulan pertama. Bila dalam waktu lebih dari tiga bulan mereka berhasil menekuninya, berlakulah sistem “tiga bulan kelipatan”. Hingga akhirnya dalam waktu setengah tahun, hobi tersebut bisa dianggap menjadi rutinitas biasa.

Begitu pula dengan berhentinya hobi tersebut. Bila seseorang telah berhenti melakukan hobi selama tiga bulan, bisa dipastikan dia kehilangan gairah melakukan kegiatan tersebut. Namun, kadang kita enggak pernah tahu kapan hobi bisa berhenti. Tiba-tiba ingin berhenti tanpa bisa diprediksi sebelumnya.

Sangat gue akui, bahwa hobi gue sejak SMA adalah ngeblog. Banyak sekali alasan kenapa gue ngeblog. Padahal, setahun sebelum masuk SMA, gue enggak pernah punya pikiran, “Nanti kalau SMA mau ngeblog.” Baru sebulan sebelum masuk SMA, gue punya niat untuk ngeblog, dan alhamdulillah masih bertahan hingga kini.

Gue kadang merasa diri ini enggak bisa banyak hal. Orang yang berada dekat gue akan mengira, “Ih, si Robby banyak enggak ngertinya.” Gue akui memang begitu. Disuruh main alat musik, gue enggak bisa. Disuruh mengerjakan soal Matematika, gue kabur duluan. Ngobrol tentang politik atau psikologi, gue menutup telinga. Diajak ngobrol tentang film, gue cuma menyeletuk enggak jelas.

Gue pun merasa minder.

Giliran gue sedikit paham tentang menulis, nilai pelajaran Bahasa Indonesia gue justru rendah. Teman-teman akhirnya enggak percaya dan menyingkir. Gue semakin minder dan merasa terasingkan. Dalam hati gue iri dengan teman-teman yang “banyak bisanya”. Atau, bisa dibilang multi talenta.

Sore ini gue pergi bersepeda. Seperti biasa, gue menggunakan sepeda fixie merah milik Bapak. Pedalnya agak kendur, sehingga membuat gue khawatir pedalnya nanti lepas di tengah jalan. Sama seperti kekhawatiran gue yang tiba-tiba muncul:

Bagaimana bila gue enggak ingin ngeblog lagi?

Sepanjang kayuhan sepeda yang pelan, gue terus-terusan mencari-cari jawaban dari per­tanyaan itu. Mencari positif-negatif dari vakum­nya gue ngeblog, sekaligus pembelaan atas janji yang pernah gue ucapkan dalam-dalam: gue mau terus-terusan ngeblog.



Tentang janji... yang kadang takut bila gue ingkari.

Gue berusaha sekuat mungkin untuk me­nyempatkan waktu 1-2 jam di depan laptop untuk menulis. Yang namanya usaha memang kadang enggak selalu mulus. Niat dan usaha gue, untuk ngeblog, sekeras apa pun, tetap saja ada yang mengejek dan merendahkan. Sebenarnya sudah dua tahun terakhir gue mengalami hal seperti itu, tapi kadang gue merasa goyah.

Mau berhenti saja.

Mau menutup blog.

Gue kembali pada janji yang gue miliki: gue mau terus-terusan ngeblog.

Janji yang sangat rawan gue langgar. Gue takut janji ini akan membuat gue “menjilat ludah sendiri”. Andai memang tidak ngeblog, gue enggak mau berhenti menulis. Gue enggak mau berhenti bercerita. Gue enggak mau berhenti ber­bagi hal kecil yang terlintas lewat di pikiran gue yang penuh keminderan ini. Gue tahu, rasa minder ini enggak akan ada habisnya. Gue punya harapan, semoga rasa minder ini memang sifat bawaan dari seorang anak muda yang sedang mencari jati diri.

Seorang guru di bimbel pernah melempar pertanyaan di kelas, “Kalau besok ada ulangan Matematika dan Bahasa Indonesia, kamu lebih pilih belajar mana?”

Seisi kelas ragu menjawab Matematika. Kenyataannya memang kami lebih memilih belajar Matematika.

“Pasti Matematika,” kata Guru. “Kenapa kita selalu menganggap tinggi Matematika, padahal dalam SBMPTN nilai benar Matematika dan Bahasa Indonesia sama?”

“Saya kalau enggak bisa Matematika, saya sadar diri. Saya genjot di mata pelajaran lain,” tambahnya.

Benar juga.

Di dalam hati, gue mulai melakukan pem­berontakan, “Tapi kalau yang mau kuliah berhubungan dengan eksak enggak bisa kayak gitu.”

Herannya, pikiran gue yang lain malah membalas, “Ya, memang. Setidaknya kamu harus belajar dulu. Tapi maksimalkan kekuatan yang kamu punya.”

Hening yang cukup panjang. Kepala gue tiba-tiba kosong enggak memikirkan apa pun. Setelah cukup lama kalimat itu cukup menonjok pemikiran, gue mencoba menerapkan hal itu ke media lain.


Kayuhan sepeda gue kecepatannya meningkat. Sore ini terlalu ramai dan tidak terlalu membuat gue senang. Jalanan macet karena truk masuk pabrik sehingga jalan tersendat. Gue memutar arah mencari jalan lain untuk melanjutkan rute gue bersepeda seperti biasanya. Melewati rumah orang yang pernah gue sebut pacar.

Dia, dulu, sedikit mengenalkan gue dengan blog. Mungkin, bila diibaratkan ngeblog adalah sebuah kampus, dia yang memberikan lembaran berisi profil singkat. Memang tidak banyak yang dia kenalkan, tetapi gue pernah dapat gambaran kecil dari dia.

Setelah berbulan-bulan gue ngeblog, ber­puluh-puluh tulisan dipublikasi, dia menagih lewat pesan singkat, “Kapan mau nulis aku di blog kamu?”

Gue menjawab, “Kapan-kapan, ya.”

Akhirnya, malah menjadi “kapan-kapan” yang enggak pernah terwujud. Hingga berbulan-bulan kemudian dia tetap menagih hal yang sama, gue pun menjawab dengan jawaban berbeda, “Kalau nulis tentang kamu, enggak menjual.”

Itu bentuk bercandaan gue ke dia. Pada kenyataannya, gue memang enggak pernah me­nulis tentang dia. Dan sekarang gue bisa menulis sedikit tentang dia di proyek bersama teman WIRDY. Dia jugalah yang membuat gue akhirnya takut untuk berjanji. Gue pernah bilang ke dia, “Kita pasti bareng terus.”

Namun, setelah lulus SMP kita beda sekolah. Janji yang kemudian dilanggar setelah gue putusin dia. Janji yang gue ciptakan terkesan hanya untuk melenakan.

Gue bingung karena saat itu dia lagi ngambek terus. Gue enggak ngerti bagaimana cara mengembalikan mood perempuan yang sedang ngambek. Pada akhirnya janji bodoh itu spontan terucap. Sungguh, di saat itu gue ke­hilangan akal untuk membuatnya kembali bersemangat.

Mungkin ada puluhan janji yang telah gue berikan kepadanya. Ucapan anak polos yang belum tahu apa-apa, yang suatu saat, bisa saja dia tagih. Yang tidak mungkin gue jawab, “Kapan-kapan, ya.”

Sewaktu sedang melanjutkan tulisan ini, dia mengirim pesan di Line, menanyakan film yang baru saja rilis di bioskop. Dia bertanya, “Udah nonton filmnya?”

Gue, entah kenapa, sangat pede kalau dia akan mengajak gue nonton. Dalam posisi seperti ini, gue enggan terjebak pada cerita nostalgia bersama mantan. Gue berusaha menghindar, tetapi ada dorongan lain dengan menganggap dia sebagai teman lama. Gue pernah mendengar nasihat: Janganlah menyia-nyiakan teman lama. Karena pada suatu hari nanti, saat kita kesulitan, teman lama berpotensi menjadi penyelamat.

Dalam hati yang terdalam, gue punya firasat bahwa dia bisa menolong gue di masa depan. Mulai saat ini, gue harus menjalin hubungan baik dengan dia.

“Belum,” balas gue.

“Kalau mau, nonton bareng ya.”

“Senin, mau enggak?”

Dia mengiyakan ajakan gue.

Sampai pada hari yang telah dijanjikan, gue tidak menemukan dia. Pesan yang gue kirim tadi pagi belum juga dibaca. Mengirim pesan lagi dengan memberi tahu kalau gue berada di toko buku. Hari itu satpam pasti mengira gue orang paling sibuk karena bolak-balik mencari sinyal, berusaha untuk menghubungi dia. Memastikan dia selamat sampai di sini.

Gue keluar mal untuk mencari ruang terbuka, berharap ada sebatang sinyal muncul. Duduk di bawah pohon tempat parkir cukup membuat handphone gue kedatangan banyak pesan. Gue mendapat pesan dari dia.

“Gue lagi di tempat lain.”

Mulut ini rasanya tak mau lagi mengucap sumpah serapah, tapi ini sulit dipercaya. Gue kira hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan; bisa bercerita panjang hingga toko ditutup, berbagi potongan pengalaman hidup, bertukar referensi, dan menceritakan teman-teman. Ternyata, dia tidak di sini. Tidak bersama gue—yang hampir dikira tukang parkir.

Terpikir akan satu hal: Apakah ini balasan atas janji yang dulu pernah gue buat?

Entahlah kemarin dia berjanji atau tidak. Ternyata memang begini rasanya dikhianati. Diberi harapan palsu.

Masih dalam perjalanan bersepeda, beberapa meter kemudian gue melihat seekor kucing tergeletak di pinggir jalan. Orang-orang di depan toko melihat kucing itu dengan iba. Gue yang sudah terlewat beberapa meter hanya bisa berhenti dan menengok ke belakang. Saat sepeda gue berpapasan dengan kucing itu, dia sedang kejang-kejang dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Darahnya terus mengucur. Sepertinya kucing ini baru saja menjadi korban tabrakan.

Kucing itu sekarat. Gue berniat ingin menguburnya, tetapi seperti ada sebuah dinding penahan untuk bergerak. Gue hanya bisa meratapi nasib kucing kecil itu dari kejauhan. Agak mengerikan juga sore ini. Setelah tadi melewati rumah mantan, menemukan kucing sekarat di jalan, kini melewati tempat pemakaman umum. Gue agak sensitif dengan tempat ini. Tempat yang menjadi peristirahatan terakhir manusia di Bumi ini, selalu memutus janji-janji yang belum sempat terlaksana.

Bayangkan bila ada seseorang diundang datang ke acara ulang tahun temannya, dia berjanji akan datang paling awal. Kemudian, di perjalanan dia malah pergi bareng pacarnya yang, ehem... lagi ngambek. Di perjalanan dia meninggal. Begitu termasuk pengingkaran janji, kan?

Dalam sebuah obrolan di grup WhatsApp, kami sempat bercerita tentang janji. Mereka juga punya janji yang hingga kini belum mereka tepati. Entah itu kepada teman, sahabat, atau orang tua. Gue mengambil kesimpulan, bahwa sulit untuk menepati semua janji-janji yang pernah kita buat. Dan pada akhirnya, kita telah berbaring di liang lahat dengan meninggalkan janji-janji yang belum terlaksana. Wallahu a’lam.


Agak mengerikan juga dengan orang-orang yang mengingkari janjinya. Termasuk gue, takut bila suatu saat, baik secara sadar maupun tidak sadar, telah melupakan janji. Apalagi mengenai tulisan di blog sendiri. Secara sadar, ada banyak janji kecil yang gue lupakan, seperti mau mengulas film dan buku yang habis gue tonton dan baca. Gue sadar akan hal itu. Andai bisa semudah menghapus tulisan itu, maka janji gue dianggap tidak jadi. Andai saja.

Agar bisa lebih mengalir, gue masih ingin berpegang pada janji gue, gue mau terus-terusan ngeblog. Setidaknya, hingga janji ini tetap terjaga akan kesuciannya, yang kemudian diingkari oleh ketidaksadaran.

--

Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/achievement-agreement-business-bw-3390230/

0 Comments:

Posting Komentar