--
Gue memiliki sedikit pandangan
mengenai hobi. Menurut gue, seseorang yang menekuni hobi tertentu, baru bisa
bertahan dengan hobinya sekitar tiga bulan pertama. Bila dalam waktu lebih dari
tiga bulan mereka berhasil menekuninya, berlakulah sistem “tiga bulan
kelipatan”. Hingga akhirnya dalam waktu setengah tahun, hobi tersebut bisa
dianggap menjadi rutinitas biasa.
Begitu pula dengan berhentinya
hobi tersebut. Bila seseorang telah berhenti melakukan hobi selama tiga bulan,
bisa dipastikan dia kehilangan gairah melakukan kegiatan tersebut. Namun,
kadang kita enggak pernah tahu kapan hobi bisa berhenti. Tiba-tiba ingin
berhenti tanpa bisa diprediksi sebelumnya.
Sangat gue akui, bahwa hobi gue
sejak SMA adalah ngeblog. Banyak sekali alasan kenapa gue ngeblog. Padahal,
setahun sebelum masuk SMA, gue enggak pernah punya pikiran, “Nanti kalau SMA
mau ngeblog.” Baru sebulan sebelum masuk SMA, gue punya niat untuk ngeblog, dan alhamdulillah
masih bertahan hingga kini.
Gue kadang merasa diri ini enggak
bisa banyak hal. Orang yang berada dekat gue akan mengira, “Ih, si Robby banyak
enggak ngertinya.” Gue akui memang begitu. Disuruh main alat musik, gue enggak
bisa. Disuruh mengerjakan soal Matematika, gue kabur duluan. Ngobrol tentang politik atau psikologi,
gue menutup telinga. Diajak ngobrol tentang film, gue cuma menyeletuk enggak
jelas.
Gue pun merasa minder.
Giliran gue sedikit paham tentang
menulis, nilai pelajaran Bahasa Indonesia gue justru rendah. Teman-teman akhirnya enggak
percaya dan menyingkir. Gue semakin minder dan merasa terasingkan. Dalam hati
gue iri dengan teman-teman yang “banyak bisanya”. Atau, bisa dibilang multi
talenta.
Sore ini gue pergi bersepeda.
Seperti biasa, gue menggunakan sepeda fixie merah milik Bapak. Pedalnya agak
kendur, sehingga membuat gue khawatir pedalnya nanti lepas di tengah jalan.
Sama seperti kekhawatiran gue yang tiba-tiba muncul:
Bagaimana bila gue enggak ingin ngeblog lagi?
Sepanjang kayuhan sepeda yang
pelan, gue terus-terusan mencari-cari jawaban dari pertanyaan itu. Mencari
positif-negatif dari vakumnya gue ngeblog, sekaligus pembelaan atas janji yang
pernah gue ucapkan dalam-dalam: gue mau
terus-terusan ngeblog.
Tentang janji... yang kadang
takut bila gue ingkari.
Gue berusaha sekuat mungkin untuk
menyempatkan waktu 1-2 jam di depan laptop untuk menulis. Yang namanya usaha
memang kadang enggak selalu mulus. Niat dan usaha gue, untuk ngeblog, sekeras
apa pun, tetap saja ada yang mengejek dan merendahkan. Sebenarnya sudah dua
tahun terakhir gue mengalami hal seperti itu, tapi kadang gue merasa goyah.
Mau berhenti saja.
Mau menutup blog.
Gue kembali pada janji yang gue
miliki: gue mau terus-terusan ngeblog.
Janji yang sangat rawan gue
langgar. Gue takut janji ini akan membuat gue “menjilat ludah sendiri”. Andai
memang tidak ngeblog, gue enggak mau berhenti menulis. Gue enggak mau berhenti
bercerita. Gue enggak mau berhenti berbagi hal kecil yang terlintas lewat di
pikiran gue yang penuh keminderan ini. Gue tahu, rasa minder ini enggak akan
ada habisnya. Gue punya harapan, semoga rasa minder ini memang sifat bawaan
dari seorang anak muda yang sedang mencari jati diri.
Seorang guru di bimbel pernah
melempar pertanyaan di kelas, “Kalau besok ada ulangan
Matematika dan Bahasa Indonesia, kamu lebih pilih belajar mana?”
Seisi kelas ragu menjawab
Matematika. Kenyataannya memang kami lebih memilih belajar Matematika.
“Pasti Matematika,” kata Guru.
“Kenapa kita selalu menganggap tinggi Matematika, padahal dalam SBMPTN nilai
benar Matematika dan Bahasa Indonesia sama?”
“Saya kalau enggak bisa
Matematika, saya sadar diri. Saya genjot di mata pelajaran lain,” tambahnya.
Benar juga.
Di dalam hati, gue mulai
melakukan pemberontakan, “Tapi kalau yang mau kuliah berhubungan dengan eksak enggak
bisa kayak gitu.”
Herannya, pikiran gue yang lain
malah membalas, “Ya, memang. Setidaknya kamu harus belajar dulu. Tapi
maksimalkan kekuatan yang kamu punya.”
Hening yang cukup panjang. Kepala
gue tiba-tiba kosong enggak memikirkan apa pun. Setelah cukup lama kalimat itu
cukup menonjok pemikiran, gue mencoba menerapkan hal itu ke media lain.
Kayuhan sepeda gue kecepatannya
meningkat. Sore ini terlalu ramai dan tidak terlalu membuat gue senang. Jalanan
macet karena truk masuk pabrik sehingga jalan tersendat. Gue memutar arah
mencari jalan lain untuk melanjutkan rute gue bersepeda seperti biasanya. Melewati
rumah orang yang pernah gue sebut pacar.
Dia, dulu, sedikit mengenalkan
gue dengan blog. Mungkin, bila diibaratkan ngeblog adalah sebuah kampus, dia
yang memberikan lembaran berisi profil singkat. Memang tidak banyak yang dia kenalkan,
tetapi gue pernah dapat gambaran kecil dari dia.
Setelah berbulan-bulan gue
ngeblog, berpuluh-puluh tulisan dipublikasi, dia menagih lewat pesan singkat,
“Kapan mau nulis aku di blog kamu?”
Gue menjawab, “Kapan-kapan, ya.”
Akhirnya, malah menjadi “kapan-kapan”
yang enggak pernah terwujud. Hingga berbulan-bulan kemudian
dia tetap menagih hal yang sama, gue pun menjawab dengan jawaban berbeda, “Kalau nulis
tentang kamu, enggak menjual.”
Itu bentuk bercandaan gue ke dia.
Pada kenyataannya, gue memang enggak pernah menulis tentang dia. Dan sekarang
gue bisa menulis sedikit tentang dia di proyek bersama teman WIRDY. Dia jugalah yang membuat gue
akhirnya takut untuk berjanji. Gue pernah bilang ke dia, “Kita pasti bareng
terus.”
Namun, setelah lulus SMP kita
beda sekolah. Janji yang kemudian dilanggar setelah gue putusin dia. Janji yang gue ciptakan terkesan hanya untuk
melenakan.
Gue bingung karena saat itu dia lagi
ngambek terus. Gue enggak ngerti bagaimana cara mengembalikan mood perempuan
yang sedang ngambek. Pada akhirnya janji bodoh itu spontan terucap. Sungguh, di
saat itu gue kehilangan akal untuk membuatnya kembali bersemangat.
Mungkin ada puluhan janji yang telah gue berikan kepadanya. Ucapan anak polos yang belum tahu apa-apa, yang suatu
saat, bisa saja dia tagih. Yang tidak mungkin gue jawab, “Kapan-kapan, ya.”
Sewaktu sedang melanjutkan
tulisan ini, dia mengirim pesan di Line, menanyakan film yang baru saja rilis
di bioskop. Dia bertanya, “Udah nonton filmnya?”
Gue, entah kenapa, sangat pede
kalau dia akan mengajak gue nonton. Dalam posisi seperti ini, gue enggan
terjebak pada cerita nostalgia bersama mantan. Gue berusaha menghindar, tetapi
ada dorongan lain dengan menganggap dia sebagai teman lama. Gue pernah
mendengar nasihat: Janganlah menyia-nyiakan teman lama. Karena pada suatu hari
nanti, saat kita kesulitan, teman lama berpotensi menjadi penyelamat.
Dalam
hati yang terdalam, gue punya firasat bahwa dia bisa menolong gue di masa depan.
Mulai saat ini, gue harus menjalin hubungan baik dengan dia.
“Belum,” balas gue.
“Kalau mau, nonton bareng ya.”
“Senin, mau enggak?”
Dia mengiyakan ajakan gue.
Sampai pada hari yang telah
dijanjikan, gue tidak menemukan dia. Pesan yang gue kirim tadi pagi belum juga
dibaca. Mengirim pesan lagi dengan memberi tahu kalau gue berada di toko buku.
Hari itu satpam pasti mengira gue orang paling sibuk karena bolak-balik mencari
sinyal, berusaha untuk menghubungi dia. Memastikan dia selamat sampai di sini.
Gue keluar mal untuk mencari
ruang terbuka, berharap ada sebatang sinyal muncul. Duduk di bawah pohon tempat
parkir cukup membuat handphone gue kedatangan banyak pesan. Gue mendapat pesan
dari dia.
“Gue lagi di tempat lain.”
Mulut ini rasanya tak mau lagi
mengucap sumpah serapah, tapi ini sulit dipercaya. Gue kira hari ini akan
menjadi hari yang menyenangkan; bisa bercerita panjang hingga toko ditutup, berbagi potongan pengalaman hidup, bertukar referensi, dan menceritakan
teman-teman. Ternyata, dia tidak di sini. Tidak bersama gue—yang hampir dikira
tukang parkir.
Terpikir akan satu hal: Apakah ini balasan atas janji
yang dulu pernah gue buat?
Entahlah kemarin dia berjanji
atau tidak. Ternyata memang begini rasanya dikhianati. Diberi harapan palsu.
Masih dalam perjalanan bersepeda,
beberapa meter kemudian gue melihat seekor kucing tergeletak di pinggir jalan.
Orang-orang di depan toko melihat kucing itu dengan iba. Gue yang sudah
terlewat beberapa meter hanya bisa berhenti dan menengok ke belakang. Saat
sepeda gue berpapasan dengan kucing itu, dia sedang kejang-kejang dan
mengeluarkan darah dari mulutnya. Darahnya terus mengucur. Sepertinya kucing
ini baru saja menjadi korban tabrakan.
Kucing itu sekarat. Gue berniat
ingin menguburnya, tetapi seperti ada sebuah dinding penahan untuk bergerak.
Gue hanya bisa meratapi nasib kucing kecil itu dari kejauhan. Agak mengerikan
juga sore ini. Setelah tadi melewati rumah mantan, menemukan kucing sekarat di
jalan, kini melewati tempat pemakaman umum. Gue agak sensitif dengan tempat
ini. Tempat yang menjadi peristirahatan terakhir manusia di Bumi ini, selalu
memutus janji-janji yang belum sempat terlaksana.
Bayangkan bila ada seseorang
diundang datang ke acara ulang tahun temannya, dia berjanji akan datang paling
awal. Kemudian, di perjalanan dia malah pergi bareng pacarnya yang, ehem... lagi
ngambek. Di perjalanan dia meninggal. Begitu termasuk pengingkaran janji, kan?
Dalam sebuah obrolan di grup
WhatsApp, kami sempat bercerita tentang janji. Mereka juga punya janji yang
hingga kini belum mereka tepati. Entah itu kepada teman, sahabat, atau orang tua.
Gue mengambil kesimpulan, bahwa sulit untuk menepati semua janji-janji yang
pernah kita buat. Dan pada akhirnya, kita telah berbaring di liang lahat dengan
meninggalkan janji-janji yang belum terlaksana. Wallahu a’lam.
Agak mengerikan juga dengan
orang-orang yang mengingkari janjinya. Termasuk gue, takut bila suatu saat,
baik secara sadar maupun tidak sadar, telah melupakan janji. Apalagi mengenai
tulisan di blog sendiri. Secara sadar, ada banyak janji kecil yang gue lupakan,
seperti mau mengulas film dan buku yang habis gue tonton dan baca. Gue sadar
akan hal itu. Andai bisa semudah menghapus tulisan itu, maka janji gue dianggap
tidak jadi. Andai saja.
Agar bisa lebih mengalir, gue
masih ingin berpegang pada janji gue, gue mau terus-terusan ngeblog. Setidaknya,
hingga janji ini tetap terjaga akan kesuciannya, yang kemudian diingkari oleh
ketidaksadaran.
--
Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/achievement-agreement-business-bw-3390230/
0 Comments:
Posting Komentar